Kamis, 27 Mei 2010
TROWULAN (24)
TERBAKAR CEMBURU.
Perselisihan dengan Raki Keleng yang tersulut secara tiba-tiba pada akhirnya membuat hati Aryo Wangking jadi tidak tenteram. Dirasakannya ada sesuatu dalam sorot mata Raki Keleng yang membuat Aryo Wangking jadi gelisah. Setiap kali berpapasan dan bersitatap dengannya, perasaan Aryo Wangking bergetar. Dia rasakan, seperti berpapasan dengan serigala buas yang siap menerkam dan mencabik-cabik dirinya. Apabila dia berlalu dan meninggalkan Raki Keleng di belakangnya, dia merasakan sekujur punggungnya dingin membeku. Bulu kuduknya meremang dan kegelisahan akan terjadinya sesuatu yang mengerikan mendadak saja datang menyergap dan menyelinap di segenap relung hati.
Hal seperti it uterus saja berlangsung. Ada serigala yang mengintip, ada gadis manis yang seakan semakin demonstratip memperlihatkan kasmarannya kepadanya. Niken kian gigih untuk selalau bisa berdekatan dengannya, tak peduli pada sepasang mata serigala buas yang siap mencabik-cabik dagingnya. Ada saja hal-hal remeh dijadikan alasan agar bisa dekat dengannya di ruang pustaka yang sempit. Kadang bahkan dengan sengaja, gadis itu menempelkan payudaranya ke lengan Aryo. Atau memeluknya dari belakang, atau bersandar ke bahunya, atau….aaggghhhh! Pusing Aryo memikirkannya. Seakan-akan Aryo dihadapkan pada satu situasi yang sulit.
Hingga pada suatu siang, di ruang kerja itulah Niken bersandar ke dada Aryo yang tengah duduk menyadur di mejanya.
“Hari ini aku lelah sekali,” keluh Niken seraya menggeliatkan badan.
Aryo mendorong perlahan, dan memaksa Niken duduk lebih tegak di kursinya.
“Kenapa?” tanya Aryo.
“Entahlah. Perutku ini rasanya nggak enak.”
“Ada yang nggak beres, Ken?”
“Iya sih, kayaknya.”
“Sudah ke dokter?”
“Belum. Kau antar aku, ya?”
“Mmmm….”
“Kenapa? Keberatan?”
“Keberatan sih, enggak. Cuma sibuk saja belakangan ini. Mengurus rencana pernikahanku.”
“Dengan Rayun? Jadi, kamu dengan dia?”
Aryo tertawa tanpa suara.
“Memang kenapa kau tanyakan itu, Ken? Kami sudah saling mencintai, saling mengerti, dan dia mau kuajak menikah. Apalagi? Kdua orang tua dari dua belah pihak juga sudah merestui.”
“Menurutku, kau terlalu terburu-buru.”
“Maksudmu?”
“Yaaa….Masih banyak yang harus kau pikirkan sebelum memasuki jenjang pernikahan. Misalnya, latar belakang kehidupan kalian, status ekonomi kalian, gaya hidup, dan ah…masih banyak lagi hal-hal yang menurutku tidak cocok!”
Aryo melepas tawa lebar.
“Apa, yang tidak cocok? Kau cemburu, atau hanya berlebihan saja menilai sesuatu?”
“Cemburu? Jelas itu!”
“Ah, apa pasal?”
“Selama ini kau anggap apa hubungan kita ini, Yok? Aku kuatir, yang dikatakan Raki benar.”
“Apa yang dikatakannya?”
“Bahwa aku hamil.”
“kau gila!”
“Aku memang gila. Lebih gila lagi, kalaupun aku dihamili laki-laki siapapun dia, aku akan bilang kalau kaulah ayah dari janin yang ada di perutku ini.”
Aryo membereskan tas ranselnya, dan bersiap untuk pergi.
“Aku tak percaya kau berani mengakui kehamilan itu, kalau kau benar-benar hamil.”
“Oh ya? Begitukah pikirmu?’
“Ya, kau tak akan segila itu.”
“Aku sudah gila, tidakkah kau mengerti. Aku gila karena kau!”
“Niken…”
“Aku akan mengatakannya pada orang-orang bahwa kau, titisan Nambi, adalah laki-laki pengecut yang tak berani mengakui kebejatanmu.”
Wajah Aryo merah padam. Namun senyumnya masih mengulas di bibir.
“Sebentar lagi aku menikah, artinya, aku akan menjadi milik orang lain.”
“Itu nanti, bukan sekarang. Sekarang kau masih milik bersama. Kau boleh dengan Rayun, boleh juga denganku. Enak kan?”
Kini Aryo tak lagi bisa tertawa. Dirinya sudah merasa benar-benar tak nyaman lagi berada dalam satu ruang dengan Niken.
“Barangkali kau sudah benar-benar tidak waras lagi, Ken. Kau merendahkan dirimu sendiri.”
“Aku mau jadi tidak waras kalau itu karenamu.”
Aryo menatapnya tajam.
Dia mulai berpikir bahwa gadis itu sudah amat keterlaluan. Tetapi sebelum sempat berpikir terlalu jauh, tiba-tiba Niken sudah meraih kepalanya, menundukkannya dengan paksa dan memagut bibirnya dengan sergapan yang dahsyat. Bibir mereka saling bertaut. Niken membiarkan bibirnya mengulum, menghancurkan pertahanan Aryo wangking. Seakan tak memberi ampun atas segala dosa, menikam lidah hingga ke hulu. Bagai mengairi kemurnian madu.
Aryo Wangking tersentak tak sempat mengelak. Semua kekuatan dalam dirinya sirna bergelayut rindu. Kehangatan dan kekuatan yang dimiliki NIken membuyarkan niat-niat baik yang mulai diukir dalam diri dan jiwanya. Tubuh Niken yang panas bagai bara api tak bisa dipungkiri, lebih brutal dibanding kesantunan yang dimiliki Rayun Wulan. Niken Pratiwi adalah perempuan yang hidup dalam diri. Yang selalu lincah mengelak dari pelukan gemas dan gelap. Bersikeras mencari kepuasan yang tak pernah selesai.
Beberapa lama mereka saling mengulum dan meremas, ketika tiba-tiba pintu digebrak keras, mengagetkan keduanya.
Raki Keleng berdiri di tengah bingkai pintu dengan sepasang mata serigala yang siap menancapkan taring ke dalam daging busuk di depannya.
“Kalian lupa mengunci pintu,” ujarnya tandas.
Niken Pratiwi tergeragap.
Aryo Wangking menghapus bibir dengan punggung tangan. Rasanya bibirnya jadi kotor sekali, penuh dengan bakteri atau setan-setan. Kalau bisa, dia ingin menyayatnya dengan pisau cukur dan menggantinya dengan bibir yang lebih baru dan bersih.
Sambil menyambar tas ransel dari sandaran kursi, Aryo Wangking berjalan keluar. Ketika melewati Raki keleng, dia sempat berujar,
“Maaf, aku harus pergi.”
“Tunggu, Yok!” Niken berteriak memanggil.
Namun Aryo sudah melesat pergi ke ruang depan, dimana meja Rustam berada. Dia menghempaskan diri duduk di samping Rustam dengan dada sesak. Rasa malu dipergoki seperti itu ditambah dengan kekuatiran lain akan datangnya fitnah, membuatnya berkeringat.
Niken Pratiwi ikut bergegas keluar. Namun lengan Raki Keleng menahannya di ambang pintu.
“Biarkan aku keluar,” kata Niken tajam.
“Aku sudah melihat semuanya,” sahut Raki Keleng tak kalah tajam. “Aku melihat kalian berciuman dengan penuh gairah. Aku juga mendengar pembicaraan kalian, kalau kau benar-benar hamil karena…”
“Ya, aku hamil karena dia. Sekarang, apa maumu ha? Apa pedulimu?”
Raki Keleng tertawa pahit.
“Ya, apa peduliku? Tapi aku memang peduli. Tidak banyak. Aku Cuma ingin tau apa kau cukup jujur menjawab pertanyaanku.”
“Apa pertanyaanmu?”
“Kalau kau sudah hamil karena dia, apakah kau masih mau dijamah lelaki lain? Ingat Niken, akupun,…sekali lagi,…akupun pernah melakukannya denganmu. Apa kau yakin anak itu anak Aryo? Atau anakku? Atau anak lelaki lain? Ha?”
Kedua mata Niken membelalak.
“Kurang ajar!” desisnya menahan marah.
Segera tangannya menepis lengan Raki Keleng yang tengah menghalangi jalannya. Namun dengan sigap Raki Keleng menangkap tangannya, dan menariknya ke dalam pelukannya. Bibirnya menancap langsung ke bibir Niken Pratiwi. Menggilasnya dengan kasar dan brutal.
Niken Pratiwi meronta dan menampar wajah Raki Keleng dengan sebuah taamparan keras. Lelaki berkulit hitam itu tidak berusaha mengelak. Dia bahkan tertawa sinis seraya memperketat pelukannya. Seperti ular terjepit besi panas, tubuh Niken meronta, mencakar, dan menggelinjang. Sumpah serapah terlontar. Jerit tangis menambah suasana jadi sangat giris. Aryo dan Rustam berlari kebali ke depan pintu raung pustaka. Keduanya terkejut melihat keadaan begitu mengerikan.
“Raki! Raki! Lepaskan dia. Kamu sudah gila, apa? Raki! Lepaskan!” teriak Rustam.
Tanpa diulang, Raki melepaskan Niken sambil tertawa-tawa.
“Ada apa ini?” tanya Rustam kebingungan. “Kalian ini sudah pada sinting semua. Ini kantor, bukan pasar. Ribut melulu! Ada apa, sih?”
“He, Rustam!” jawab Raki Keleng kurang ajar. “Kau lihatlah dulu siapa yang salah. Apa aku salah mencium perempuan seperti dia? Dia ini, memang harus dikasari. Jujur saja, apa harus dibujuk, dibeli, dirayu? Tertawa meringis. Dia itu pelacur. Kamu dengar? Kalau ndak percaya, tanyalah si Brewok. Berapa lama dia mencengkam malam menghancur luluhkan sepi jiwanya? Mari. Kaupun bisa terengkam. Aaaah, kita ini sama saja. Tak ada beda antara kau, aku, maupun si Brewok yang dikultuskan itu. Semua laki-laki suka yang itu. Turut saja!”
“Kurang ajar kau Raki! Aku tidak terima dengan omonganmu itu!” teriak Niken keras.
Raki Keleng Cuma tertawa-tawa bak orang sinting. Dia kibaskan tangan ke udara bagaikan mengusir lalat. Menatap jemu ke wajah-wajah pucat pasi di sekitarnya. Kemudian dengan lagak tengik berlalu, meninggalkan Rustam yang berdiri kaku dengan wajah bingung, meninggalkan Aryo yang geram dan berkeringat, meninggalkan Niken Pratiwi yang menangis karena marah dan benci. Dia menempelkan dua jari le bibir dan melambaikannya kepada semua orang, seakan mengucapkan bye bye.
“Aku tidak terima,” isak Niken Pratiwi.”Aku benci ucapannya. Aryo, kau harus berbuat sesuatu, jangan diam saja dia mengata-ngatai aku seperti itu…”
“Ah, sudahlah. Lupakan saja,” sahut Aryo dingin.
Rustam membimbing Niken ke sebuah kursi tak jauh dari situ, mengambilkan air minum dengan menghiburnya dengan lembut.
“Sudah, Ken. Tenang saja. Kita semua tidak ada yang mempercayainya. Kita tau betul siapa dia, siapa dirimu, dan siapa Aryo. Raki itu memang tidak beres otaknya, untuk apa ditanggapi serius?”
Aryo menengok arlojinya.
“Sori, aku pergi dulu, Rus.”
“Kau mau kemana?”
“Nengokin rumah kang Empul. Sudah lama tidak dibersihkan.”
Rustam berdiri di depannya.
“Sebetulnya aklu mau minta tolong padamu, Yok.”
“Apa yang bisa kubantu?”
“Aku ingin pinjam kendaraanmu. Sebentar saja. Tadi bapakku menelpon, katanya ibuku sakit dan perlu diantarkan ke dokter. Kalau boleh…”
“Oh, boleh saja, Atau…mau kuantar?”
“Tidak usah, terimakasih. Aku Cuma butuh waktu satu jam saja, Rumah bapakku kan tidak jauh dari sini.”
Aryo Wangking mengambil kunci kontak dari saku celana dan memberikannya pada Rustam.
“Surat kendaraan ada dalam dompet kunci, Rus.” Kata Aryo.
“Terimakasih, Yok. Aku buru-buru.”
“Jangan lupa sampaikan salamku pada kedua orangtuamu. Semoga cepat sembuh.”
“Insya Allah akan kusampaikan. Yuk !”
Rustam berpamitan, bergegas ke halaman. Aryo mengantarkannya sampai di anak tangga depan museum. Setelah melihat Rustam naik ke atas jip, dia berbalik masuk. Namun tiba-tiba….
Blaaaarrrrr….!!!!
Ledakan yang amat kuat mengguncang dinding gedung. Refleks, Aryo melompat , bertiarap merapatkan badan ke lantai. Serasa ada bom jatuh dari langit. Bom? Kening Aryo berkerut. Benarkah itu tadi ledakan bom?
Beberapa kerikil atau pecahan besi terlontar ke teras museum. Ada beberapa yang jatuh ke punggungnya.
Perlahan Aryo menggerakkan kepala, menengok ke belakang, ke arah halaman gedung. Astaga! Lidah api yang cukup besar menjilat-jilat ke udara. Apa sih, yang terbakar? Kembali Aryo mengernyitkan kening. Beberapa detik lamanya, dia tetap tengkurap tanpa gerak kecuali kelopak mata yang berkedip-kedip tanda dia berpikir keras.
Setelah itu, dia berdiri, menoleh, dan ….ya Tuhan…!
Aryo berlari ke halaman, ingin menerobos lidah api yang menjilat garang. Jip! Jip itulah yang meledak. Meledak? Meledak karena apa? Sungguh Aryo tidak pernah menduga bahwa ledakan itu terjadi karena sebuah bom yang sengaja dipasang di bawah mesin.
“Rustam!....Ya Allah, Rustam…!”
Aryo sudah ingin melompat ke dalam kobaran api kalau saja tidak ada tangan-tangan kuat para karyawan lain yang menahannya.
Tanpa sadar, Aryo menangis keras, berteriak, menggeram, menggerung….
Tak jauh dari tempat berkobarnya api, Raki Keleng menggertakkan gigi. Percobaan pembunuhan atas Aryo Wangking telah gagal. Yang mati justru Rustam, karyawan paling baik di dunia. Karyawan yang penuh dedikasi. Yang rela hidup pas-pasan hanya karena kecintaannya pada benda-benda kuno bersejarah.
Dia segera menghubungi Pamugaran melalui ponselnya yang baru dibelikan pelukis dari Gianyar itu.
“Berhasil?” tanya Pamugaran dari seberang sana.
“Gagal, Boss.”
“Bagaimana bisa, bukannya kau bilang pasti berhasil?”
“Sori Boss, ini semua di luar skenario.”
“Apa maksud kamu?!”
“Tanpa saya duga, seseorang meminjam jip itu. Jadi,…’
“Brengsek!”
“……………”
“Terus, sekarang bagaimana.”
“Kita coba lagi dengan cara lain.”
“Baik. Tapi saya nggak mau gagal lagi. Temui saya di tempat biasa, besok, dengan jam yang sama.”
“Baik.”
Raki keleng memasukkan ponsel barunya ke saku celana. Berdiri termangu memandang sisa kobaran api. Disaksikannya beberapa orang berusaha keras memadamkan api, Bibirnya yang kehitam-hitaman akibat nikotin, tersenyum tipis. Paling tidak, dia sudah berhasil meremukkan hati Aryo Wangking dengan tewasnya salah satu sahabat baiknya itu. Rasakan kau, Aryo! Sebentar lagi, tidak lama lagi, kau akan menyusul kea lam baka!
Aryo Wangking terduduk lemas menyaksikan beberapa karyawan tengah berusaha memadamkan api. Pemadam kebakaran sudah diberi tau lewat telepon, juga sudah melaporkan kejadian itu ke polisi. Tinggallah Aryo menatap kuyu sisa kobaran api yang menggosongkan sahabatnya tanpa mampu berbuat apa-apa lagi.
Matanya sembab. Bibirnya kering.
Rustam, rintihnya dalam hati. Ibumu sakit, Rus. Apa yang harus kukatakan kepada beliau tentang kematianmu ini? Apa? Bagaimana harus kuhadapi bapakmu? Sanggupkah aku mengabarkan tragedi ini kepada beliau? Kalau bukan aku, lalu siapa?
Aryo menghapus air di sudut mata dengan kasar. Sakit hatinya. Sakit sungguh! Sebetulnya dia sadar, bom itu diperuntukkan dirinya, bukan Rustam. Mengapa justru Rustam yang kena? Ya Allah, ya Robb…semua itu akan tetap menjadi rahasiaMu. Dan hanya Engkaulah yang tau bahwa kejadian ini sudah Kau rencanakan.
“Mas Aryo, polisi sudah datang.” Seseorang membangunkannya dari kesedihannya.
Aryo mengangguk lemah. Berdiri dengan lemah. Berjalan dengan kaki lemah.
“Suruh mereka ke ruanganku,” ujarnya pelan.
“Ya, mas.”
Aryo terus berjalan, melewati meja Rustam, berhenti sejenak dengan dada perih. Kemudian meneruskan langkah ke ruang pustaka. Sepi, suram, gelap. Niken entah kemana. Yang ada cuma kegalauan yang membelit dan kesedihan yang tiada tara.
Selamat jalan Rus. Semoga jalanmu lapang.
(Berlanjut ke episode depan)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar