Sabtu, 15 Mei 2010
TROWULAN (21)
Niken Pratiwi.
Setelah itu, selama beberapa hari kemudian, hampir setiap saat Niken Pratiwi datang ke Siti Hinggil dan bertanya kepada hampir semua orang tentang keberadaan Aryo Wangking. Sebab hampir seminggu lamanya, wajah ganteng berkumis dan berbrewok itu tidak muncul di kantor. Rustam mengatakan pada Niken, mungkin saja Aryo pergi ke Surabaya.
“Mungkin saja ke rumah mbak Rayun,” tambahnya seakan membubuhkan bensin pada api.
Niken mengerutkan kening. Dadanya seakan gosong tiba-tiba.
“Surabayanya dimana sih?” tanya dia ketus.
“Wah, mana saya tau,’ Rustam mengangkat bahu.
Niken tau, Rustam menyembunyikan sesuatu darinya. Hal itu tentu saja, membuat Niken marah. Dirinya seakan-akan disepelekan, diremehkan, dan dikhianati. Diantara semua teman-teman di Trowulan, siapa yang tidak tau bahwa Aryo adalah kekasihnya? Rustam, Darji, Raki Keleng, bahkan Sikan dan Marlan, siapa yang tidak tau? Tapi sekarang, mereka semua seakan-akan buta dan tuli. Masa, setiap ditanya selalu saja jawabnya ‘ tidak tau’, ‘tidak tau’!
Huh!
Mereka itu seakan berkomplot, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tau. Sialan! Mengapa sih, pada aksi tutup mulut? Apa kepentingan mereka dengan mendukung Rayun sebagai kekasih Aryo, padahal mengenali gadis itu saja, tidak!
“Apa mungkin dia…menginap di rumah Rayun, ya?” gumam Niken seakan bertanya pada diri sendiri.
Lagi-lagi Rustam menggeleng sambil mengangkat bahu tanda tak tau. Niken Pratiwi jadi gemas sendiri. Dirasakannya teman-teman Aryo benar-benar sudaah berkomplot dan sepakat untuk tetap tutup mulut.
Dikeluarkannya segenggam anak kunci dari dalam tasnya. Diremasnya dengan geram. Aryo Wangking seakan sudah menganggap Niken bukan orang lain. Semenjak mereka saling dekat pada beberapa tahun yang lalu, dia memberikan duplikat kunci rumah dan kunci kamar tidurnya pada Niken Pratiwi, dan membiarkannya bebas keluar masuk ke sana. Namun sebenarnya sudah lebih dari enam bulan anak kunci itu tidak pernah lagi dipergunakan oleh Niken, karena si empunya rumah lama tak pernah lagi bertemu dengannya. Sumirah sudah meninggal, Aryo Empul kabarnya tinggal di Kediri, dan Aryo wangking…
Ya, kemana Aryo Wangking?
Waktu enam bulan itu bukan waktu yang singkat. Apalagi bagi Niken, serasa sudah bertahun-tahun. Dalam perasaannya, Aryo Wangking mulai menghindar darinya sejak peristiwa duel di sebuah apartemen di Citra Land itu, antara Aryo dan Pamugaran. Setelah itu, bayangannyapun sulit ditemui. Mereka tak lagi pernah bertemu secara khusus seperti dulu. Kalaupun bertemu, sikap Aryo teraqsa amat dingin. Hambar. Keadaan seperti itu amat dirasakan Niken sejak Aryo terlihat akrab dengan Rayun.
Mengingat itu semua, jantung Niken berdebar lebih cepat. Kemarahannya berbaur sakit hati dan cemburu yang meluap hingga ke ubun-ubun. Laki-laki yang selama ini diharapkannya menjadi pendamping harus pergi begitu saja, membuatnya kelimpungan, kehilangan tempat berbagi suka dan duka. Tak lagi bisa berbagi rasa dan kepentingan saat menghadapi kesulitan dan masalah, baik di kantor maupun di kehidupan sehari-hari. Sergapan rasa rindu yang membuncah seakan menguap begitu saja. Benci dan rindu sekaligus tumbuh subur dalam benak Niken Pratiwi. Merasa dicampakkan bagai sampah. Dibiarkan membusuk sendirian.
Hingga pada suatu hari…
Tiba-tiba Niken merasa mual pada lambungnya. Beberapa hari ini dirinya memang sulit tidur, malas makan, enggan berhias diri dan segala macam. Segenap ingatan dan pikirannya hanya kepada Aryo Wangking. Hingga tau-tau, tubuhnya terasa lemas dan mual.
Di toilet, Niken tak bisa menahan diri lagi. Dia muntah-muntah. Perutnya serasa di aduk-aduk. Hingga basah kuyup berkeringat, pucat, dan terus menerus memuntahkan semua isi perutnya di kakus kantor. Begitu keluar dari toilet, di lorong dia bertemu dengan Raki Keleng. Lelaki berkulit hitam, tinggi lampai itu, menatapnya dengan tatapan setajam belati.
“Kenapa kamu, masuk angin?” tanya Raki Keleng getas.
Niken tak ingin menyahut. Dia suka sebal melihat laki-laki berkulit hitam berambut keriting itu. Laki-laki itu selalu saja mencuri-curi kesempatan untuk mengejarnya, memaksakan cinta dan seakan mengikuti bagaikan elang lapar. Matanya yang pekat mengintip-intip, menunggu kesempatan terbuka untuk segera menyambarnya jadi santapan birahinya.
Niken Pratiwi segera masuk ke ruang kerjanya di bagian naskah kuno. Dia mencoba menyibukkan diri dengan membenahi beberapa naskah yang rusak dimakan rayap. Menatanya kembali ke dalam sebuah rak. Di tengah kesibukan itulah tiba-tiba seseorang masuk begitu saja ke museum. Seseorang itu adalah seorang pria jangkung setengah baya, berpakaian rapi dan mengenakan topi sofbol, berwajah indo dan sangat tampan.
Semula Niken acuh tak acuh terhadap orang itu. Sebab setiap saat ada saja orang asing keluar masuk ke tempat itu. Kadang malahan ada serombongan pelajar atau mahasiswa yang datang. Terlebih pada hari libur. Jadi tak heran kalau pada siang bolong itu ada orang asing masuk yang segera menemui Rustam di front-office, tak jauh dari ruang naskah tempatnya berada.
Tetapi ketika tanpa sengaja Niken menengok ke arahnya dan melihat wajah tamu itu dengan lebih cermat, mendadak sontak dirinya jadi menaruh perhatian lebih. Dari ciri-ciri yang dimilikinya, Niken jadi teringat pada potret di Koran beberapa bulan yang lalu. Dia yakin orang itu adalah pelukis dari Gianyar, Dewa Pamugaran. Ya, tak salah lagi. Lelaki dengan hidung mancung itu adalah Dewa Pamugaran!
Niken segera menyingkirkan buku-buku kuno dari atas meja dan bergegas menemui lelaki itu di depan meja Rustam.
“Maaf,” kata Niken tanpa prolog. “Bukankah Anda adalah Dewa Pamugaran, pelukis yang terkenal itu?”
Orang itu tersenyum.
“Benar,” jawabnya. “Saya Dewa Pamugaran. Anda mengenali saya?”
“Tentu saja. Siapa tak kenal Dewa pamugaran? Kenalkan, saya karyawan di sini. Nama saya Niken Pratiwi.”
Dewa Pamugaran menerima uluran tangan Niken dan menyalaminya dengan hangat.
“Apa yang sedang Anda lakukan di sini?” tanya Niken kemudian.
“Melihat-lihat situs purbakala, apalagi kalau bukan itu?” tawa Pamugaran. “Di Bali memang banyak bangunan pura, tidak sama dengan yang ada di sini. Di sini bangunan candi pastinya akan lebih memberikan nuansa yang berbeda bagi saya, kan? Tetapi lebih dari itu semua, tentu, saya butuh seorang pemandu.”
“Saya bisa menjadi guide bagi Anda,” sahut Niken dengan cepat. “Bukankah begitu, Rus?”
Rustam yang sejak tadi hanya sebagai pendengar, terlihat terlonjak kaget. Namun segera menutupinya dengan sebuah ulasan tawa lebar di bibirnya. Dia mengiyakan, bahkan segera menyodorkan sebuah brosur kepada Dewa Pamugaran. Tetapi rupanya Dewa Pamugaran lebih suka mengutarakan keinginannya berkeliling kepada pamandu barunya.
“Sebetulnya, saya amat tertarik dengan Gapura Paduraksa,” katanya tanpa mempedulikan brosur wisata candi yang disodorkan Rustam kepadanya.
“Kenapa Anda tertarik pada Gapura Paduraksa? Padahal masih banyak yang tak kalah menariknya dari itu.”
“Yahh… mungkin karena begitu sering saya mendengar bahwa ada pantangan2 bagi siapapun yang datang dan melewati gapura itu.”
“Memang, barangkali itu cuma legenda, atau tahayul. Namun Paduraksa atau Candi Bajangratu memang sering dibicarakan memiliki tuah tersendiri, meski tuah yang tidak mengenakkan. Apakah Anda percaya pada tahayul seperti itu?”
Pamugaran tertawa sebelum menjawab.
“Tentu, tidak bisa saya jawab sekarang. Barangkali saya musti melihatnya lebih dulu,” katanya.
“Kalau begitu kita kesana. Rus, aku pergi dulu ya. Nanti kalau Aryo datang, barangkali, suruh dia menunggu di ruang pustaka.”
Niken mengambil tas di meja kerjanya, kemudian bersama-sama Pamugaran keluar museum.
Setelah masuk ke mobil, dan perlahan-lahan meninggalkan pelataran museum, secara sambil lalu Pamugaran bertanya,
“Anda mengenal Aryo dengan baik?”
“Maksud Anda,…Aryo Wangking?...Hehehe, tentu saja saya amat akrab dengannya. Dia satu ruangan dengan saya. Mengapa Anda tanyakan dia?”
“Kalau tidak salah, tadi Anda berkata, …kalau Aryo datang, barangkali… dan seterusnya. Mengapa harus ‘barangkali’? Apa Anda tidak yakin dia akan datang hari ini?”
Niken menahan nafas sejenak sebelum menjawab pertanyaan itu. Lama, baru dia menoleh ke laki-laki di sampingnya dan berkata,
“Akhir-akhir ini dia memang sering tidak masuk kerja. Entah kenapa.”
Pamugaran menambah kecepatan. Mereka saling berdiam diri sebentar.
“Senang bisa berkenalan dengan Anda,” kata Niken kemudian memecah keheningan.
“Oh ya? Mengapa?”
“Senang bisa mengenal langsung seorang pelukis tenar seperti Anda. Salah satu faktor utamanya mengapa saya begitu berhasrat mengenal Anda, mungkin karena ada kaitannya dengan Aryo Wangking dan Rayun Wulan.”
Pamugaran membuang muka ke kanan. Hamparan sawah yang tak begitu menghijau, pepohonan, dan rumah penduduk seakan berlari ke belakang mobil yang dikendarainya, sama kencang dengan darahnya yang tiba-tiba mengalir deras.
“Percobaan pemerkosaan di apartemen itu menurut saya bukanlah kesalahan Anda semata,” lanjut Niken serius. “Gadis itu juga punya andil cukup besar dalam peristiwa itu. Paling tidak, dia telah memberikan sebuah peluang besar bagi seorang pria untuk melakukannya. Sebenarnya, bagaimana sih, gadis itu?”
“ Maksud Anda?” Pamugaran jadi salah tingkah.
Sialan! Pamugaran mengutuk diri sendiri. Kenapa aku jadi gugup begini sih? Si Niken ini cukup berani juga menelanjangi aku, sialan.
“Gadis itu. Selain cantik, dan kaya raya, dia itu bagaimana?”
“Oh,…sori. Saya tidak bisa menjawab pertanyaan itu.”
Pamugaran menghapus kasar bibirnya yang mendadak jadi gagap dengan punggung tangan. Tangannya mencengkeram setir dengan kuat, seakan mendadak kejang.
Niken menatap lurus ke depan. Sepasang matanya merah menahan gumpalan amarah dan kegeraman yang hampir meletus.
“Kenapa Anda tidak bisa?” tanya Niken. “Apakah karena Anda sangat mencintainya? Padahal dia sudah tidak peduli pada Anda. Saya kok jadi penasaran. Apa kelebihan gadis itu kecuali paras cantik, berharta, dan terkenal karena dia salah satu dari novelis perempuan yang cukup langka di Surabaya? Apakah dia mampu memenuhi hasrat Aryo yang selalu bergemuruh dan menggeretak bagai gunung berapi itu?”
“bagaimana Anda tau dia bagaikan gunung berapi?”
“Sampai saat ini, saya tau betul bagaimana dia.”
“Oh, sori…Jadi Anda adalah…”
“Saya pacarnya. Sejak selesai perkuliahan, dia dan saya bekerja disini, dan kami berpacaran cukup lama.”
Kedua mata Pamugaran mengerjap kencang.
“Anda kaget?” Niken tertawa sumbang.
“Memang sekarang ini dia sedang menghindari saya. Mungkin karena sudah amat dekat dengan Rayun Wulan. Jadi dia melupakan saya. Anda bisa tanyakan pada para sesepuh di pelataran Majapahit ini tentang siapa saya dan siapa Aryo Wangking. Hubungan kami sudah bukan rahasia kami lagi. Hubungan kami sudah meruap ke udara dan dipahami oleh semua warga Trowulan. Bukankah sangat menyakitkaan bila tiba-tiba saya harus terhempas begitu saja tanpa kata-kata maaf, atau apapun itu, yang dapat dipahami tidak saja oleh saya tapi juga oleh semua orang, apa yang membuatnya pergi meninggalkan saya?” lanjutnya berterus terang.
“Ya, ya. Saya paham…saya paham…”
“Andapun merasakan juga seperti yang saya rasakan?’
Pamugaran membasahi bibirnya yanag kering dengan ujung lidah. Sungguh, sesungguhnya yang dia rasakan jauh,…amat jauh dengan yang dirasakan Niken. Motivasinya sudah lain. Lain sekali. Niken terhempas karena cinta, Pamugaran tercelepak karena harga diri.
Mobil sedan warna merah darah itu melaju cepat, kini sudah melewati Pendapa Agung. Suasana hening mencekam diantara mereka. Musik lembut dan dinginnya air conditioning tak lagi membuat mereka nyaman.
“Saya pernah bertemu agak lama dengan Aryo di Balekambang, “ kata Pamugaran akhirnya. “Di sana dia menjelaskan kepada saya tentang semua hal yang berkaitan dengan kegiatannya. Salah satu di antaranya, dia mengatakan bahwa rumahnya ada di dukuh Keraton, dekat Gapura Paduraksa.”
“Maksud Anda, hari ini ingin berkunjung ke rumahnya? Ingin tau bagaimana dia? Jadi itu yang menyebabkan Anda ingin melihat Gapura Paduraksa? Mengapa Anda tidak berterus terang saja kepada saya? Apakah yang Anda lakukan ini karena pemberitaan tentang keseriusan hubungan Rayun dan dia, di Koran?”
Pamugaran mengoper persnelling lebih rendah karena harus melewati sebuah tikungan tajam. Kemudian menaikkan lagi ke gigi tiga. Melewati jalan kampung atau desa, tidak memungkinkan melaju cepat dengan gigi empat atau lima.
“Berita tentang malam peluncuran buku di Gramedia itu sempat membuat hati saya tersengat,” kata Pamugaran. “Saya jadi ingin tau siapa sebenarnya Aryo Wangking. Laki-laki seperti apa yang bisa mengalahkan saya. Pesona yang bagaimana bisa mencabut seseorang dari jerat pesona saya….”
“Rasa percaya diri Anda ternyata lebih besar dari saya ya?” tawa Niken pedih.
“Mungkin juga ya, mungkin juga tidak. Sungguh, saya tidak rela kalau orang seperti dia menggantikan saya di hati Rayun Wulan. Perbandingannya tak seimbang. Menyimak cerita Anda, saya jadi punya pandangan dan penilaian tersendiri.”
“Apa itu?”
“Bahwa ternyata Aryo Wangking bukan orang baik-baik.”
“Saya tidak pernah merasa bahwa dia bukan orang baik-baik. Saya hanya bilang bahwa setelah menjalin hubungan sangat akrab dan bisa dikatakan berpacaran, dia tiba-tiba meninggalkan saya.”
“Tanpa ba bi bu?”
“Memang belum jelas, apa salah saya hingga membuat semuanya jadi seperti ini.”
“Yang jelas bagi saya, dia tergolong laki-laki yang tidak bertanggung jawab!”
“Belum tentu!”
“Anda masih membelanya? Baiklah, itu hak Anda. Menurut saya, dia itu kurang ajar. Bahkan dia telengas sekali saat menghajar saya.”
“Itu karena Anda ingin memperkosanya. Kalau dia tau ada wanita yang sedang mengalami hal-hal seperti itu, entah itu seorang puteri atau mbok-mbok, dia merasa pantas untuk menghajarnya.”
Pamugaran tertawa ngakak. Ada nada marah, dan sinis dalam tawa itu.
“Begitu ya? Kok sepertinya dia itu pahlawan betul di mata Anda, nona Niken.”
“Yang dilakukan Aryo biasanya selalu punya alasan yang kuat.”
“Termasuk meninggalkan Anda begitu saja?”
Niken tersedak.
“Ya, mungkin. Hanya saya yang belum paham maksud-maksud sebenarnya.”
Pamugaran mengulum senyum. Gadis ini begitu memuja Aryo Wangking. Ah, beruntungnya lelaki brengsek itu dipuja-puja banyak wanita. Itu urusan dia, tetapi berita di Koran itu mejatuhkan aku habis-habisan…sialan.
“Baiklah, kita punya opini masing2, tak perlu lagi kita pertengkarkan. Masih jauhkah rumah lelaki itu?”
“Itu dia, sudah terlihat dari sini. Yak, kita berhenti.”
Sedan merah melaju pelan dan akhirnya berhenti di pinggir jalan, tepat di depan pagar Candi Bajangratu. Pamugaran mematikan mesin, membuka pintu, dan celingukan ke kanan dan ke kiri seperti mencari-cari sesuatu. Niken juga turun. Melepas kacamata hitamnya dan menatap Pamugaran.
“Itu rumahnya,” kata dia.
Pamugaran memalingkan wajah ke arah yang ditunjukkan Niken. Tepat di seberang jalan, persis di depan matanya, berdiri sebuah rumah mungil bercat putih. Jendeklanyapun bercat putih. Dekat rumah itu ada tumbuh sebuah pohon besar yang rimbun. Pelataran rumah itu penuh dengan dedaunan kering yang gugur, berserak dan cukup menandai bahwa rumah itu sudah lama kosong.
Pamugaran berkacak pinggang. Di bawah sorot matahari siang, figur pelukis itu terlihat bukan main. Dia tampan dengan kacamata hitam dan topi sofbol. Niken memandang heran, mengapa Rayun justru mencampakkannya dan memilih pria yang sungguh-sungguh Jawa, dengan kulit sawo matang, kumis tebal, dan brewokan?
“Kelihatannya kosong,” keluh Pamugaran.
“Bukankah itu kebetulan?”
“Maksudnya?”
“Kita bisa masuk dengan leluasa, memuaskan hati Anda bukan?”
“Bagaimana cara kita masuk?”
“Dengan ini.”
Niken memperlihatkan segumpal anak kunci di telapak tangan kanannya.
“Waow. Surprais sekali. Jadi Anda memiliki kunci rumahnya?”
Niken cuma tertawa mendengar jeritan Pamaugaran. Dia mendahului menyeberang, diikuti Pamugaran, bagai anak ayam mengekor induk. Mendadak hati Pamugaran berdebar. Saat seperti sekarang inilah yang dia tunggu. Saat dimana dia bisa melihat kehidupan seorang Aryo Wangking yang sebenarnya. Setimpalkah dengan dirinya? Apakah bukan semacam hulubalang dangn anak raja? Dia, hulubalang. Dan Akulah anak raja itu. Apa yang tidak kumiliki? Semua yang diidamkan perempuan ada padaku. Ketenaran, karir, ketampanan, harta, keturunan, dan aaah, masih banyak lagi. Sementara dia,…apa? Bukan siapa-siapa. Anak desa, dari dukuh Keraton. Jalan di depan rumahnyapun jalanan desa.
“Silakan masuk,” kata-kata Niken membangunkannya dari lamunan. Pintu utama rumah sudah terbuka lebar. Akan masukkah dia?
Niken mengangguk, dan menyuruhnya masuk lebih dulu. Udara pengap menyergap. Pamuigaran melihat berkeliling, ruangan itu kecil sekali. Ada perabotan yang mirip di ruang tamunya, Cuma meja kursi itu, begitu jelek menurut Pamugaran. Sudah amat tidak layak. Berdebu lagi!
“Ini ruang tamunya,” kata Niken.
“…..”
“kalau mau masuk lagi, itu kamar tidur Aryo Wangking.”
Pamugaran masuk lebih ke dalam.
Gelap sekali kamar itu. Namun dalama kepengapan dan kegelapan yang dirasakannya, dia masih bisa melihat ada ranjang di situ, hanya cukup untuk satu orang. Sebuah meja tanpa taplak, dan sebuah kursi butut. Ada televise kecil ukuran 14 inch. Selebihnya, nggak ada yang istimewa.
“Bagaimana, Anda puas mengintip latar belakang Aryo Wangking?’
“Jangan sinis, saya kan cuma…”
“Kecemburuan Anda membuat Anda jadi ingin menilai dirinya dengan angka-angka,” sergap Niken tajam.
“Kami memang cuma orang biasa, tidak tenar, tidak kaya seperti Anda maupun Rayun. Karena itu saya cukup merasa heran, mengapa orang-orang di level Anda tiba-tiba masuk ke dalam level kehidupan kami yang sederhana ini? Mengapa kalian merusak dan menghancurkan kedamaian di hati kami?”
“Nona, jangan salah paham, ini bukan masalah kaya atau miskin, ini masalah harga diri.”
“Berapa tinggi harga diri Anda, Tuan? Saya memang mencintainya dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Saya tidak melihat apakah dia miskin atau kaya. Yang saya lihat bahwa dirinya adalah seseorang yang punya karakter, gigih dan tak terbawa arus moral papa. Saya tidak tau, apakah hal-hal itu yang dilihat oleh Rayun dalam diri Aryo.”
Pamugaran menggigit lidah diam-diam. Cepat dia menengok kea rah Niken. Kedua tangan dalam saku, maka kian tampak jelas keangkuhan dalam bahasa tubuhnya.
“Ya, tapi harus Anda sadari, kini dia tengah mencintai orang lain,” ujarnya getas. “Bukan hanya Rayun saja yang jatuh cinta. Diapun jatuh cinta pada gadis itu, gadis yang glamour, brillian, apakah Anda tidak marah?”
“Anda sendiri?”
“Saya? Oh, jelas, saya sangat marah. Saya lelaki normal yang punya harga diri, cinta, dan arogansi. Tentu, saya amat tersinggung dengan cara dia merebut kekasih saya, tunanagan saya! Kami bahkan sudah amat dekat dengan kursi pelaminan. Terlebih saya merasa tidak satu level dengan dia. Maaf, bukan maksud saya menghina, tapi…”
“Anda bahkan sudah melakukan penghinaan dan pelecehan kepada orang sekelas saya, berarti Anda menghina dan melecehkan saya.”
‘Ops. Apa saya salah bicara?” kata Pamugaran dengan sikap tengik.
Niken tak menanggapi ucapan konyolnya. Dia sangat tersinggung dengan sikap Pamugaran, namun disisi lain, amat sakit hati karena ulah Aryo Wangking.
“Tuhan sangat pandai memutar balikkan nasib orang,” kata Niken.
Pamugaran tidak menyahut. Dia menyeberangi lagi jalan depan candi, kemudian naik ke mobil diikuti Niken. Kendaraan itu berputar balik ke arah semula.
“Kita kembali ke musem,” kata Pamugaran.
“Tidak jadi jalan-jalan?”
“Sori, saya sudah tidak berminat lagi.”
“Saya mengerti. Tapi saya hanya ingin menitipkan sebuah pesan.”
“Apa?”
“Saya tak mau Anda berbuat macam-macam terhadap Aryo. Itu saja.”
Pamugaran membalasnya dengan seulas senyum misterius. Mereka sama sama sudah tak berminat lagi mengobrol. Hingga akhirnya harus berpisah di halaman museum.
“Ini kartu nama saya,” kata Pamugaran sebelum Niken turun. “Kalau Aryo datang, tolong saya dihubungi. Saya ingin bicara empat mata dengannya.”
“Akan saya usahakan,” kata Niken sambil turun dan menutup pintu mobil. Dia menunggu sampai sedan merah itu keluar dari halaman museum, baru melangkah masuk ke museum.
(Raki Keleng, di episode berikutnya. Sabar ya.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar