Sabtu, 15 Mei 2010
TROWULAN (22)
SERIGALA JAHAT.
Tiba-tiba saja Niken kembali merasakan perutnya mual. Entah kenapa, suasana dalam gedung itu membuatnya pusing dan mual. Maka dengan bergegas dia berlari ke toilet.
“Hei, kalau jalan jangan pakai ngelamun dong!”
Sebuah suara keras menegur kasar dari arah lorong museum. Niken tau, itu adalah suara Raki Keleng
“Ah, kamu!”
“Dari mana saja?” tanya Raki Keleng lagi.
“Kau melihatnya sendiri, aku mengantar tamu. Rustam ada?”
“Ada di dalam. Siapa sih, dia?”
“Dewa Pamugaran.”
Niken Pratiwi berjalan terus. Sementara Raki Keleng mengekor di belakangnya. Raki Keleng juga seorang arkeolog, sama seperti Aryo Wangking maupun Niken Pratiwi. Namun dia tidak bekerja di museum. Dia hanya senang saja datang dan pergi ke tempat itu mengejar-ngejar Niken Pratiwi. Dia bisa ada dimana saja. Kadang cuma menginap di pendopo Siti Hinggil, kadang tidur di Troloyo. Raki Keleng, lelaki bertubuh kecil, hitam dan berambut keriting itu sering berangan-angan bisa mempersunting Niken Pratiwi sebagai isteri bila suatu saat berhasil menjadi ‘orang’. Namun angan-angan itu ternyata tak semudah yang dia bayangkan. Sebab ternyata Niken Pratiwi sama sekali tidak tertarik untuk menjadi isterinya.
Dulu memang, pernah mereka sangat dekat. Namun entah kenapa, lama-lama Niken jadi muak kepadanya. Mungkin saja kemuakan itu muncul karena Raki Keleng tidak punya pekerjaan tetap, kasar, brutal, dan suka ‘nyepi’ ke tempat-tempat wingit. Laki-laki itu sering bercerita kesana kemari, suatu saat akan menemukan harta karun berupa keris, atau mas perak dari tempat-tempat wingit sekitar Trowulan. Niken sering menyebutnya gila. Namun dengan penuh percaya diri, Raki Keleng selalu sesumbar, keris berluk tiga belas itu pasti akan dia peroleh, dan itu harganya sangat mahal.
Memang, ternyata cita-cita menemukan keris berluk tigabelas itu pernah berhasil dia dapatkan. Keris itu memang terlihat sangat ampuh. Apalagi benda pusaka itu dia dapatkan sesudah mengadakaan penghayatan (samadi) selama tiga hari tiga malam nonstop di Makam Panjang, yang diyakini orang sebagai kubur Syech Syaid Donopuro, di dusun Ungguh Ungguhan.
Konon katanya, keris itu diminta oleh seorang pengusaha kapal di Surabaya dengan ‘mas kawin’ sebesar limapuluh juta rupiah. Sayangnya, uang itu dilipatgandakan di meja judi oleh Raki Keleng hingga mencapai tujuhpuluh juta rupiah. Barangkali nasibnya sedang baik, sehingga dalam sekejap mata saja, Raki Keleng berhasil mendapatkan uang sebesar itu di meja judi. Oleh Raki Keleng uang tersebut dijanjikan untuk beaya pernikahannya dengahn Niken Pratiwi. Tetapi Niken Pratiwi menolaknya mentah-mentah. Uang tersebut lama kelamaan habis juga entah kemana, tak keruan juntrungannya. Dan Raki Keleng tetap begitu-begitu saja tidak pernah berubah menjadi ‘orang’ seperti keinginannya, bahkan menurut kata orang, lelaki itu kian lama kian tidak beres saja. Dia berjudi, minum, dan main perempuan.
Raki Keleng terus mengikuti langkah Niken Pratiwi hingga ke pintu toilet.
“Apa aku mengenalnya?” kejarnya.
“Mana aku tau kau mengenalnya atau tidak,” sahut Niken.
“Sepertinya aku pernah mendengar nama itu, dimana ya?”
Niken masuk ke toilet dan menutup pintu rapat-rapat. Terdengar suara ‘ho-ek, ho-ek’, dari dalam. Raki Keleng mengerutkan kening. Dia mulai berpikir, jangan jangan….!
Tangannya menggedor pintu keras-keras.
“Ken! Kau muntah-muntah ya?”
“Ya.”
Suara ‘ho-ek ho-ek’ kembali terdengar.
“Apa…kau hamil?”
“………”
“Ken! Kau hamil ya?!”
Serunya lagi, mengagetkan Rustam yang kebetulan lewat dekat toilet.
Niken tetap saja ‘ho-ek ho-ek’.
Raki Keleng menggedor dengan berang. Otaknya yang selalu penuh kebusukan kian busuk saja. Dia menduga, pasti Aryo yang menghamilinya. Sebab selama ini dua orang itu kemana-mana selalu’runtang-runtung’ bak sepasang kupu-kupu saja. Selama ini pula Raki Keleng berusaha menarik perhatian Niken kepadanya, namun sama sekali tidak digubris oleh Niken. Kebenciannya kepada Aryo Wangking menumpuk kian lama kian tebal, seakan sudah mendarah daging menulang sumsum. Meracuni jiwa dan pikirannya.
“Ada apa, Ki?” tanya Rustam kepada Raki Keleng.
“Itu. Niken muntah-muntah di dalam. Aku jadi curiga melihat dia seperti itu.”
“Kau curiga kepadanya, alasannya apa?”
“Jangan-jangan dia hamil!”
“Gendeng!”
“Naluriku nggak pernah salah, Rus.”
“Halah! Omong kosong. Paling dia itu cuma masuk angin.”
“Masuk angin? Cuma masuk angin, katamu?”
Tiba-tiba Niken membuka pintu, keluar dari toilet, dan menatapnya dengan pandangan marah dan tersinggung. Raki Keleng membalasnya dengan tatap mata yang mengandung tanda tanya besar.
“Kau melihat apa?” tanya Niken tajam.
“Kau tidak apa-apa?”
“Memang, ada apa? Aku baik-baik saja. Hanya stress.”
“Stress?”
“Ya, melihat mukamu, aku jadi stress.”
Rustam menutup mulutnya rapat-rapat menahan tawa yang hampir meledak.
“Tuh, dengar kan? Dia Cuma stress. Masuk angin. Makanya jangan suka berpikiran ‘ngeres’. Sudah sana. Eh, iya Ken. Tadi Aryo mencarimu.” Ujar Rustam.
Sepasang mata Niken berpijar terang.
“Dimana dia sekarang?”
“Ruang pustaka. Kau sudah makan siang?”
“Belum. Kau?”
“Aku sudah, tadi bersama Darji. Sudahlah, sana makan dulu. Aryo juga sedang menunggumu. Kalau kau suka telat makan, begitulah jadinya. Masuk angin, sakit lambung, stress,…malah sialnya lagi, disangka hamil.”
”Hanya orang gila saja yang punya pikiran seperti itu.” Sungut Niken sambil ngeloyor pergi. Kembali Raki Keleng mengekornya.
“Kau mau makan siang bareng Brewok, Ken?” tanya Raki Keleng gerah. Sejak lama, dia selalu memanggil Brewok pada Aryo Wangking.
“Apa pedulimu?” sahut Niken benci.
“Bagaimana kalau makannya bareng aku saja? Di Sekar Putih ada sate enak. Kau sudah pernah mencobanya? Ayo, kutraktir.”
“Nggak sudi. Lagian aku nggak lapar!”
“Ayolah, Ken. Sekali saja kau turuti keinginanku, kenapa? Sombong sekali kau ini.”
Niken Pratiwi menghentikan langkahnya sebentar di depan pintu masuk ruang pustaka, mendelik ke arah Raki Keleng dengan sebal.
“Aku sedang tidak lapar, dan aku sibuk. Kau mengerti?”
Kemudian gadis itu lenyap di balik pintu ruang pustaka yang dibantingnya dengan keras, tepat di depan hidung Raki Keleng. Sepasang mata Raki Keleng seketika memerah saga. Kalau saja tak ingat betapa gilanya dia pada Niken, pastilah pintu itu sudah ditendangnya kuat-kuat.
Begitu melihat Niken masuk sambil membanting daun pintu, Aryo Wangking berdiri dari kursinya. Tergopoh-gopoh ditariknya sebuah kursi dan dipersilakannya Niken duduk. Niken duduk dengan nafas tersengal menahan amarah. Aryo kembali ke kursinya, berpura-pura sibuk dengan kertas-kertas kuno, dan membiarkan Niken sejenak meredakan amarahnya. Di luar, Raki Keleng merasakan darahnya menggelegak. Naik ke ubun-ubun. Dengan langkah besar, laki-laki itu keluar dari museum. Dalam hati dia bersumpah akan menyingkirkan siapapun yang mencoba menghalangi keinginannya mempersunting Niken Pratiwi. Kalau saja si Brewok bertubuh tinggi tegap itu merupakan kerikil tajam bagi niatnya, dia tidak takut. Raki Keleng mengambil motor Kawasakinya dengan kasar, dan memacunya ke Pendopo Agung.
Rupanya sepi sekali di Pendopo Agung.
Terik matahari musim kemarau terasa membakar. Udara dalam gedung besar itupun seakan-akan tak mampu meredam udara panas yang masuk. Darji keluar dari ruang kerjanya, berjalan ke lorong terbuka yang menuju ke arah belakang gedung. Sambil berkipas-kipas dengan sehelai Koran lawas, dia duduk berselunjur di lantai di bawah selasar. Matanya segera menangkap bayangan Raki Keleng yang mendatanginya. Laki-laki berusia tigapuluhan itupun segera duduk di sebelahnya. Dia menyulut sebatang rokok kretek, sementara dengan cuek Darji tetap berkipas-kipas sambil menatap raut wajah Raki Keleng yang muram.
Merasa tak tahan dengan suasana tegang yang diciptakan oleh raut wajah jelek di sisinya, Darji menegur,
“Ada apa lagi, Ki? Wajahmu mendung begitu, apa kau kalah lagi di meja judi?”
Raki Keleng membuang abu rokok ke lantai.
“Sudah lama aku tidak main,” katanya.
“Syukurlah kalau begitu. Aku senang kau sudah sadar. Lebih baik mulai mencari pekerjaan tetap yang bisa diandalkan. Kau kan tau, manusia itu tidak selamanya muda dan kuat. Pasti akan menjadi makin tua dan lemah. Kalau kau tidak mempersiapkan masa tua sejak sekarang, dan terus menerus hidup tidak menentu, bagaimana kau nanti kalau sudah tua dan jompo? Mending kalau tua itu sehat terus. Apa kau tak ingin menikah dan membina sebuah keluarga yang sakinah, hidup bahagia bersama isteri, anak, dan cucu?”
Raki Keleng tertawa kecil tanpa suara.
“Pikiran kau itu terlalu jauh, Ji. Tau tidak, pikiranmu itu terlalu muluk! Terbang ke awan bagaikan asap, blowing with the wind.” sahutnya sinis.
“Menurutku, itu bukanlah sesuatu yang muluk. Hanya sebuah pemikiran paling sederhana bagi seorang manusia seperti kita. Kecil, kemudian dewasa, mencari nafkah, menikah, beranak dan bercucu. Itu amat sederhana. Tidak perlu aku menganjurkan sesuatu yang muluk atau tinggi menembus awan bagimu. Aku hanya ingin kau memikirkan masa tua. Itu saja kok!”
“Semua orang juga, maunya seperti itu, Ji!”
“Apalagi kau. Iya, kan? Kau punya latar belakang pendidikan tinggi. Kau adalah seorang sarjana arkeologi lulusan Universitas negri yang cukup terkenal di Negara kita ini. Coba pikirkan, apa tidak sia-sia hidupmu kalau kau menjalaninya seperti sekarang ini? Kalau saja bekas guru besarmu tau, betapa malunya dia.”
“Agh. Mencari pekerjaan tetap yang menjanjikan jaman sekarang ini susah, Ji. Apalagi yang benar-benar cocok untukku.”
“Pekerjaan apa sih, yang kau rasakan cocok untukmu? Apakah yang tinggi jabatannya, banyak duitnya, enak pekerjaannya, begitu? Oalah, Ki. Kau ini. Angan-anganmu kurasa terlalu tinggi, Ki!”
“Tidak juga,” sahut Raki sambil menyedot rokok dalam-dalam.
“Kau pernah bilang padaku, ingin punya isteri cantik, rumah gedung di pinggir jalan besar, mobil sedan yang larinya kencang, dan sekali-sekali bisa liburan ke luar negeri. Apalagi namanya itu, kalau bukan angan-angan yang tinggi, dan sulit dicapai oleh orang-orang seperti kita? Kau ini ibarat menggapai bintang di langit sementara dirimu hanyalah si pungguk.”
“Kau merendahkan aku, Ji. Menghina, tau tidak?!”
“Aku tidak menghina. Tetapi kalau kau tidak berusaha dengan bekerja keras, apakah kau bisa memujudkan semua impianmu itu? Sulit, Ki. Sulit.”
Raki Keleng membuang muka sambil meludah di pasir dekat ubin teras. Wajahnya semakin rusuh.
“Kau tadi, darimana?” tanya Darji kemudian.
‘Biasa. Dari museum.”
“Bertemu dengan gadis idamanmu?”
“Gadis idaman apa? Kayaknya malah sulit didekati.”
“Pakailah strategi.”
“Sudah kulakukan. Bahkan sudah kuiming-iming dengan uang puluhan juta, tak juga mau jadi isteriku.”
“Tentu saja dia menolak. Uang itu uang nggak bener.”
“Nggak bener bagaimana? Aku ini orang ‘lelaku’, Ji. Kalau kemudian Sang Ghaib memberiku sesuatu yang kemudian diminta orang dengan mas kawin berpuluh juta, apa itu salah?”
“Sebetulnya tidak ada yang salah dengan barang hasilmu ‘lelaku’ itu, yang salah adalah ketika uang itu kau gandakan di meja judi, maka uang itu berubah menjadi uang haram.”
“Itu namanya rejeki,” sahut Raki Keleng tandas. “Tanpa ijin Allah, mana mungkin aku menang.”
“Pandangan yang seperti itu lebih salah lagi,” kata Darji. “Janganlah kau mencampur-adukkan bujukan setan dengan karunia Allah. Dosa, itu. Sebab kalau kau punya pemikiran seperti itu, sama saja dengan menghalalkan perampokan, pencurian, atau pembunuhan sekaligus.”
Raki Keleng tampak kian emosional, namun dengan cepat Darji meneruskan kalimat petuahnya,
“Dengar, Raki. Kalau saja kau mau bekerja seperti aku, misalnya. Mungkin di mata Niken kau lebih terhormat ketimbang uang berjuta-juta itu. Seharusnya kau bisa. Lihat saja Aryo Wangking itu. Dalam latar belakang pendidikan, kau sama dengannya. Wajah dan penampilanmu juga tidak kalah. Tetapi mengapa orang memandang dia lebih?”
“Agh! Lama-lama aku jadi muak mendengar semua orang mengelu-elukan Aryo Brewok. Memang, apa sih kelebihan dia dibanding orang lain?”
Darji menghela nafas panjang.
“Ya, sudahlah. Lebih baik kita tidak beragumentasi lagi tentang orang lain,” kata Darji seraya berdiri.
Dia tak ingin suasana jadi kian panas. Darji tak mengerti, apa yang membuat Raki Keleng demikian benci kepada Aryo Wangking? Kalau hanya karena kalah tenar di kawasan pelataran Majapahit, pastilah tidak demikian sikap permusuhan yang diperlihatkan Raki Keleng.
“Aku masuk, Ki. Kau tak ingin masuk?” tanya Darji.
“Aku di sini saja cari angin. Eh, pinjam kipasnya, Ji.”
Darji mengangkat Koran lawas yang sejak tadi dipakainya berkipas-kipas.
“Ini, maksudmu?”
“Ya.”
Darji memberikan Koran itu kepada Raki Keleng, kemudian berpamitan masuk.
Raki Keleng merebahkan diri. Tidur-tiduran di lantai berbantal tangan. Dia berpikir keras tentang sikap Niken yang tak pernah lunak menghadapinya. Malah belakangan ini dia jauh lebih judes daripada sebelumnya. Benarkah Niken telah menjatuhkan pilihannya pada Aryo Brewok? Namun bagaimana dengan gossip yang beredar mengenai hubungan Aryo dengan novelis dari Surabaya itu? Selama ini Raki Keleng melihat hubungan antara Niken dengan Aryo memang tidak jelas. Kadang mereka begitu dekat, bahkan seringkali Raki Keleng memergoki Niken tengah bertamu ke rumah Aryo di depan Paduraksa itu selama berjam-jam lamanya, bahkan hingga larut malam. Padahal Aryo Cuma tinggal sendiri di rumah. Apa saja yang mereka bicarakan hingga larut malam seperti itu? Bahkan pintu dan jendela rumah itu sering dalam keadaan tertutup. Alasannya, takut nyamuk masuk. Lantas, apa yang mereka lakukan berdua-duaan dalam rumah yang pintu dan jendelanya tertutup rapat seperti itu? Dan siang ini, tiba-tiba saja gadis itu muntah-muntah. Apa dia hamil, ya. Atau masuk angin? Sakit mag, barangkali? Stress?
Bara api dalam dada Raki Keleng kian marak menyala. Dia rasakan dadanya sesak. Ingin berteriak keras-keras agar sebongkah batu yang menyumbat dadanya bisa terlempat keluar oleh raungannya. Tanpa sadar, tangannya meremas Koran di tangannya. Selembar Koran lama yang baru saja dipergunakannya untuk mencari angin guna meredakan leleran keringat, kini kian lusuh.
Raki Keleng menghempaskan nafas kuat-kuat. Diluruskannya kembali Koran itu dari keriput remasannya, dan mencoba membaca sekena-kenanya. Semua beritanya sudah basi. Tentu saja, karena Koran itu memang Koran terbitan enam bulan yang lalu.
Raki Keleng iseng saja membolak-balik lembaran Koran, dari satu halaman ke halaman lain. Beberapa baris iklanpun ditelusurinya. Lalu, tiba-tiba matanya melotot. Pada halaman sekian, baris sekian, dibacanya sebuah berita lama. Tentang sebuah percobaan pemerkosaan seorang penulis novel oleh seorang pelukis dari Gianyar, di sebuah apartemen di daerah elit bagian Barat Surabaya, yang digagalkan oleh seorang arkeolog dari Trowulan bernama AW.
AW.
Arkeolog dari Trowulan!
Siapa lagi kalau bukan Aryo Wangking!
Raki Keleng tersedak sejadi-jadinya. Hingga berair kedua matanya karena kepedihan yang menyengat di kerongkongannya. Jadi betul, pikirnya setelah batuknya reda. Berita tentang kejadian yang sudah jadi buah bibir orang-orang pelaku penghayat di Trowulan itu, benar. Kalau tidak salah, tamu yang tadi datang ke museum itu adalah pelukis dari Gianyar itu. Namanya, Pamugaran. Dewa Pamugaran, kata Niken.
Raki Keleng duduk bersila. Dia membaca lebih cermat lagi, baris demi baris berita di Koran itu. Ini Koran lama, pikirnya. Jadi begitulah kejadiannya. Pamugaran, 52, berusaha memperkosa seoranag gadis yang berprofesi sebagai penulis, 28, telah digagalkan oleh AW 33, seorang arkeolog …dan seterusnya,…dan seterusnya.
Wah!
Hebat si brewok itu. Tak heran bila kian banyak saja orang di Trowulan yang berebut memuji-muji kehebatannya. Pantas. Pantas saja! Dan pantas pula kalau belakangan ini Niken Pratiwi jadi lebih ngebet dengan lelaki itu. Gigih mengakrabi Aryo Wangking.
Raki Keleng mengatubkan bibir. Awas kau, Aryo! Aku bukanlah Pamugaran. Ingat itu, bangsat. Aku bukanlah pelukis yang lemah lembut, penuh warna. Aku, adalah aku. Raki Keleng yang hanya mengenal satu warna. Hitam pekat! Lalu dengan kesal dia berdiri, menuju motor, dan dengaan kecepatan tinggi balik lagi ke museum.
……
Rustam kaget di cecar pertanyaan seputar tamu dari Gianyar itu, oleh Raki Keleng. Dia bahkan minta diceritakan peristiwa pergumulan di apartemen Citra Land.
“Mestinya kau baca di Koran,” kata Rustam jengkel.
“Ya, aku sudah baca itu.”
“Lalu? Kenapa pula kau suruh aku bercerita padamu, memang aku wartawan, apa?”
“Aku kurang jelas. Kurang detil!”
Rustam tertawa mengejek.
“Lucu, ketinggalan berita kok ngamuk!”
“Tadi dia datang ke sini, kan? Pasti ada alamatnya di buku tamu. Perlihatkan padaku.”
”Untuk apa?”
“Tak usah kau tanyakan. Berikan saja buku tamu itu padaku, biar aku cari sendiri.”
“Tidak.”
“Tidak?”
“Tidak. Sikap memaksamu itu membuat aku jadi curiga, jangan-jangan…”
“Jangan-jangan…., apa?”
“Siapa yang tidak tau kesukaanmu menteror seseorang?”
“Jangkrik!” Raki keleng mengumpat keras. “Kau pikir aku akan memeras lelaki kaya itu, begitu?”
“Aku bahkan berpikir lebih dari itu.”
“Apa yang kau pikirkan?”
“Aku takut kau bahkan membabi buta, lalu membunuhnya, sebab kau sepertinya sedang mabuk minuman keras. Kau barusan minum? Atau…kalah judi? Nggak angin, nggak hujan, datang-datang malah marah-marah….”
“Kurang ajar! Sompret! Kau pikir aku ini apa, he! Pembunuh, gitu? Kenapa sih, semua orang di sini berpikir miring tentang aku? Peminumlah, penjudilah, bahakan sekarang aku dituduh pembunuh. Kalau aku jadi pembunuh, kaulah orang pertama yang bakal jadi korbanku, tau! Ayo ngomong, ngomong…!!!” Raki Keleng berteriak-teriak bagai orang kesetanan seraya merenggut kelepak baju Rustam. Keributan itu terdengar sampai ke ruang pustaka. Aryo Wangking dan Niken Pratiwi keluar. Mereka begitu terkejut melihat kejadian itu.
“Raki!” Niken berteriak. “Apa-apaan kau ini!”
Raki Keleng berbalik menatap Niken Pratiwi dan Aryo Wangking. Bibirnya terkatub keras.
“Dia tanya alamat Pamugaran padaku,” kata Rustam.
“Untuk apa?”
“Bukan urusanmu, berikan saja alamatnya.”
“Tidak.”
“Kau tak berhaak menghalangiku untuk bertemu dengan dia.”
“Memang tidak. Tapi aku tau siapa dirimu. Segala sesuatu yang bisa memberikan keuntungan dan bisa kau manfaatkan sebagai pohon uang, pasti tak pernah selamat di tanganmu. Kau kejar sampai kemanapun. Aku tidak ingin orang memandang kita-kita ini busuk, rendah, mata duitan, tak punya harga diri,…seperti dirimu. Sebaiknya kau urungkan niat menemui dia.”
“Begitu, ya?” ejek Raki Keleng. “Seberapa bagusnya diri kau itu, Niken? Seberapa bersih? Ha ha! Orang juga tau, siapa dirimu, Niken. Siapa pula Aryo Wangking. Tak seindah itu kalian di mataku. Kalau selama ini aku diam dan tidak bekoar kesana kesini tentang kalian, tak berarti kalian luput dari pandanganku. Jangan dikira aku tidak tau. Aku tau semuanya. Se-mu-a-nya!”
“Apa yang kau tahu? Dasar pembual, pemabok!”
Raki Keleng menepiskan tangan seolah mengusir lalat.
“Sudahlah,” katanya. “Apa itu ya, yang membuat kau muntah-muntah pagi tadi? Sudah periksa ke dokter? Siapa yang menghamilimu, non? Siapa?”
“Tutup mulutmu, Raki!” bentak Aryo Wangking.
Raki Keleng tersenyum sinis.
“Ini mulut, mulutku sendiri,” katanya. “Kau tak berhak melarangku bicara. Kalau perlu, aku akan bicara pada pers tentang siapa dan bagaimana dirimu sebenarnya.”
“Silakan saja, apa maunya dirimu. Tapi kuminta, kau minta maaf pada Niken.”
“Munafik!”
“Apa katamu?”
Tangan kokoh Aryo segera menarik leher kemeja Raki Keleng dan mendekatkan wajah Raki Keleng ke wajahnya.
“Dengar, bajingan,” desis Aryo menahan amarah. “Ini memang bukan perselisihan kita. Sekali lagi kuingatkan, mintalah maaf pada Niken. Kalau tidak…”
“Kalau tidak, apa?”
“Kau akan benar-benar berurusan denganku!”
“Dengar, Brewok. Aku bahkan siap melayanimu kapan saja. Aku, Raki Keleng. Tak takut pada siapapun. Tidak pada dirimu, apalagi pada Pamugaran. Tujuanku terhadapmu cuma satu. Menghancurkanmu. Mengerti?”
Aryo Wangking tertegun. Melepaskan cengkeramannya pada leher baju Raki Keleng. Menghela nafas dalam, dan berpikir. Tak menyangka pengangguran itu demikian nekad. Sebenarnya tak ingin bersikeras seperti itu. Namun ketika Raki Keleng mengangkat kapak peperangan seperti itu, akankah dia mundur?
Tidak. Tentu saja, tidak.
Kalaupun Raki Keleng sudah edan seperti itu, Aryo akan melayaninya. Tetapi tanpa kekerasan, kalau bisa. Dia akan melayaninya dengan cara yang lebih berbudaya. Maka dengan perlahan didorongnya Raki Keleng agar menjauh darinya.
“Pergilah,” kata Aryo akhirnya.
Raki Keleng merapikan kerah bajunya, menatap mata Aryo dengan gaya tengik, dan tersenyum mengejek. Kemudian setelah berpaling kea rah Rustam dengan mata mengancam, dia keluar dari museum.
Aryo Wangking bertolak pinggang. Menundukkan wajah sambil menghela nafas dalam-dalam. Ada kekecewaan merebak dan mengalirkan darah di relung hati yang paling dalam. Sebenarnya dia tak suka ada permusuhan, apa lagi bermusuhan denga Raki Keleng, si serigala berhati culas. Tapia pa mau dikata, semuanya terjadi begitu saja. Mau tak mau, dirinya harus menerima sebagai suatu keadaan yang harus dihadapi, apapun resikonya.
“Yok. Sori, kau jadi terlibat seperti ini,” kata Niken.”
“Aku juga minta maaf, “ timpal Rustam. “Kenapa dia jadi seperti itu, ya?”
“Sudahlah, lupakan saja semua ini,” balas Aryo tersenyum sambil menepuk punggung Rustam.
“Kau tidak apa-apa, Yok?”
“Tidak, aku tidak apa-apa.”
“……..”
“Sebaiknya aku keluar dulu,” tambah Aryo setelah lama terdiam.
“Mau kemana?”
“Asal keluar saja, mencari udara segar. Sesak rasanya di sini,” Aryo menunjuk ke dadanya.
Rustam tersenyum tipis.
“Baiklah, Yok. Sebaiknya kau cari udara segar di luar. Kau, ikut dengannya Ken?”
“Aku kembali saja ke pekerjaan. Hati-hati di jalan, Yok!”
“Yak!”
Aryo ngeloyor pergi. Bahunya seakan jatuh ke bawah. Wajahnya tunduk, menatap anak tangga yang menuju pelataran. Tak lama deru mesin jip kesayangannya terdengar kian jauh dari museum. Niken masuk kembali ke ruang pustaka, sementara Rustam kembali ke belakang mejanya sendiri. Udara panas menyengat masuk melalui kisi jendela dan pintu yang terbuka lebar. Mungkin sepanas itulah isi kepala Raki Keleng, pikir Rustam seraya menggelengkan kepala.
(sebuah rencana jahat, di episode berikutnya).
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar