Kamis, 27 Mei 2010
TROWULAN (23)
SEBUAH RENCANA.
Sebuah mobil mewah masuk ke halaman museum. Raki Keleng memicingkan mata, mencoba melihat dengan jelas siapa yang ada di dalamnya. Sementara itu tangannya tak pernah berhenti mencungkil geraham dengan sebatang tusuk gigi. Tungkai kiri diangkat ke atas paha kanan. Duduk bersandar di kursi depan museum dengan hati kesal, Raki Keleng seakan mendapat tontonan mengasyikkan tatkala dari mobil itu turun seorang pria keren dengan T-Shirt ketat warna hitam celana krem, dan sepatu yang ‘wah’ berwarna senada.
Ya, Raki Keleng memang sedang merasa uring-uringan, sebab sudah sejak tadi Niken tak juga mau keluar dari ruang pustaka. Gadis itu ada di dalam bersama Aryo. Itu, yang membuatnya kesal setengah mati. Kekesalan itu mendadak harus disingkirkan ketika pria keren itu naik ke beranda museum. Pria itu mengangguk sopan, dan melempar seulas senyum kepadanya.
“Selamat siang,” ujarnya menyapa.
Raki Keleng berdiri dari kursi pelan-pelan seakan-akan terperangah. Sepasang mata pekat miliknya menatap lekat tamu yang datang. Seperti terkesima, dia membalas senyum pria itu.
“Sebentar,” kata Raki Keleng. “Bukankah Anda Dewa Pamugaran? Ya, ya. Tebakan saya pasti tidak salah. Andalah pelukis yang terkenal itu, kan?”
Pria tampan yang ternyata memang Pamugaran, mengulurkan tangan mengajaknya bersalaman. Raki keleng cepat-cepat memindahkan rokok dari tangan kanan ke tangan kiri, membersihkan tangannya pada belakang celana, lalu bergegas menerima uluran tangan Pamugaran.
“Saya memang Pamugaran, apa kabar?” kata Pamugaran luar biasa ramah. Membuat Raki Keleng semakin terperangah.
“Saya baik-baik saja. Terimakasih. Nama saya Raki Keleng. Saya sudah membaca semua berita tentang sampeyan di Koran. Wah, sampeyan memang hebat. Lukisan sampeyan juga hebat. Harganya pasti tinggi, bahkan dibeli juga oleh orang bule, hehehe.”
Pamugaran tersenyum mendengar pujian panjang itu. Ia justru berpikir, orang ini pastilah teman Aryo Wangking. Kata-katanya itu barangkali sebuah sindiran, sebab tidak mungkin orang ini tidak tau soal perkelahian di apartemen tempo hari.
“Sampeyan mencari siapa?” tanya Raki Keleng ketika melihat Pamugaran celingak celinguk ke arah dalam.
“Saya mencari Niken Pratiwi.” sahut Pamugaran.
Raki Keleng mengerutkan kening.
“Ada perlu apa, sampeyan mencari Niken?”
“Cuma sebuah urusan kecil. Dimana saya bisa bertemu dengannya?”
“Sori, dia sedang sibuk.”
‘Sibuk?”
“Ya, di ruang pustaka bersama Aryo Brewok. Kalau sampeyan nekad masuk, ketok dulu pintunya. Tuh, pintu ruang yang di sebelah Barat itu. Pintunya terkunci dari dalam. Silakan saja.”
Pamugaran tertegun.
Dia merapatkan bibir dan berpikir. Bagi Pamugaran, laki-laki bernama Raki Keleng itu terlihat sekali tidak menyukai Aryo Wangking. Apakah dengan sikap sinis seperti itu dia berusaha memberitakan sebuah gasip murahan, bahwa ada hubungan istimewa antara Aryo Wangking dan Niken Pratiwi? Bagaimana tidak? Laki-laki itu seakan tengah mencurigai keberadaan Niken dan Aryo Wangking yang tengah berdua saja di ruang pustaka yang tertutup rapat. Perasaan cemburu yang tergambar dengan sangat jelas pada sikap, gerak bibir dan ucapan. Kemudian kekesalan itu seakan dengan sengaja ditiupkannya kepada Pamugaran. Jadi, apa maksudnya dengan memperlihatkan kecemburuan dan kebenciannya pada Aryo wangking kepada dirinya?
“Ha! Sampeyan pasti sedang berpikir ke arah sana,” kata Raki Keleng tiba-tiba seraya membuang puntung rokok ke halaman.
“Saya justru tidak mengerti maksud sampeyan, Mas.”
“Masa?”
“Betul, saya tak mengerti sebetulnya ada apa dengan… Yang sampeyan maksud…”
“Main!”
“Main? Maksud sampeyan…?”
“Kita ini bukan anak ileran, Mas Pamugaran. Kita sudah tau apa maksudnya. Jangan pakai pura-pura…!”
Pamugaran berkacak pinggang, tertawa dalam hati. Siapa yang tidak tau? Tapi mana mungkin begituan di kantor. Itu Cuma fitnah saja dari orang yang lagi kesel dan sedang dibakar perasaan cemburu.
“Baik, baik. Jadi saya harus mengetuk pintu kalau ingin menemui seseorang di sini, begitu maksud sampeyan?”” tanyanya kemudian.
“Tidak semuanya. Lihat saja, cuma satu pintu. Ruang itu saja.”
Raki keleng menyulut sebatang rokok, lalu menghisapnya dalam-dalam.
“Sebab,” lanjutnya sambil mengebulkan asap dari mulut dan hidung, “…ada dua orang penting di dalamnya. Yaitu Aryo Brewok dan Niken Pratiwi. Dan pastinya sampeyan ingin tau mengapa pintu itu tertutup rapat?”
“Karena mereka…main?” tanya Pamugaran menahan tawa.
“Ya, sampeyan akan malu sendiri kalau lupa mengetuk, karena akan menyaksikan sebuah adegan yang sangat jorok!”
“Ah, sampeyan terlalu mengada-ada.”
“Sampeyan nggak percaya? Ya silakan saja dicoba. Itu, disitu, ruangannya terlihat dari sini. Silakan saja!”
Pamugaran menatap dengan pandangan aneh. Dia melihat ke dalam, ya, memang di ujung Barat ada sebuah ruangan dengan pintu yang tertutup. Percaya nggak percaya, Pamugaran mendadak dirasuki rasa tak suka melihat ke arah pintu itu. Tumbuh satu pertanyaan dalam hati, kalau memang omongan orang ini benar, apakah lelaki semacam ini yang di inginkan Rayun menjadi calon suami? Lelaki yang tidak setia. Terbukti dia sudah meninggalkan Niken, tetapi sekarang berselingkuh pula setelah menjadi kekasih Rayun. Taukah Rayun, bahwa lelaki jagoannya itu ternyata suka main perempuan? Bukankah Niken pernah bilang, bahwa mereka adalah sepasang kekasih, dan menantangnya untuk membuktikan dengan cara bertanya pada semua orang tentang kebenaran kata-katanya?
“Akhir-akhir ini mereka memang lebih akrab,” kata Raki Keleng tiba-tiba. “Sampeyan sudah lama kenal Aryo Brewok?”
“Belum.”
“Saya sudah bertahun-tahun mengenal dia. Saya tau betul siapa dia!”
“Sampeyan tau banyak tentang dia?”
“Tentu saja. Saya tau dia luar dalam. Memang, kenapa?”
“Jadi benar, mereka adalah sepasang kekasih?”
Sebelum menjawab pertanyaan itu, Raki Keleng tertawa miring.
“Soal itu, sori, saya tak mau menjawab.” sahutnya kemudian.
“Oke, kalau demikian, rasanya lebih baik saya pulang saja.”
“Loh, kok begitu? Sampeyan nggak jadi masuk?”
“Lain kali saja. Permisi.”
“Eh, eh. Tunggu.”
Pamugaran menghentikan langkah. Dia menunggu saat Raki keleng mendekatinya.
“Sebaiknya kita keluar dari sini,” kata Raki Keleng. “Saya ingin ngobrol dengan sampeyan mengenai Aryo Brewok. Tetapi jangan di sini. Bagaimana kalau kita cari tempat lain yang enak untuk bicara?”
Pamugaran mengikuti saran dan permintaan Raki Keleng. Mereka berdua berjalan menuju mobil dan masuk ke dalamnya. Tanpa banyak bicara, Pamugaran menghidupkan mesin. Mobil mewah itupun kemudian meluncur perlahan ke jalan raya. Mereka mencari sebuah rumah makan tak jauh dari Museum. Setelah memesan makanan dan minuman, Raki Keleng membuka pembicaraan dengan serius.
“Sebetulnya saya sudah tau bahwa sampeyan punya masalah tersendiri dengan Aryo Brewok,” katanya.
“Sampeyan juga membaca berita dalam Koran itu?”
“Ya. “
“Dan sampeyan percaya?”
Raki Keleng tertawa.
“Saya percaya. Sayang sampeyan tidak pernah menggunakan hak jawab sampeyan. Jadi saya pikir, berita itu benar seratus persen. Tapi,…sudahlah. Bukan itu tujuan saya membawa sampeyan kesini. Sebetulnya, orang-orang di daerah sini sudah tau semua tentang cinta segitiga kalian, antara sampeyan, Aryo Brewok dan penulis dari Surabaya itu. Tentu, itu dikarenakan kalian adalah merupakan public figure. Jadi ndak heran kalau berita itu justru mengganggu pribadi maupun karir sampeyan.”
Raki keleng menyulut rokok sejenak, menghisapnya dalam-dalam, kemudian menghembuskan asap dari mulutnya.
“Begini, Mas,” lanjutnya. “Sebaiknya saya to the point saja. Kita ini bernasib sama. Karir dan nama baik sampeyan telah rusak karena ulah si Aryo Brewok itu. Hubungan percintaan sampeyan dengan rayon Wulan boleh dikata sudah hancur-hancuran. Sementara itu, hubungan saya dengan Niken Pratiwipun sudah bubrah karena dia. Maka…”
“Sebentar,” potong Pamugaran cepat. “Jadi sampeyan dan Niken pacaran…?”
Raki Keleng mengangguk kuat.
“Bisa dibilang begitu, kalau saja Brewok tidak terlalu mencari-cari perhatian Niken Pratiwi dengan lagak dan gaya yang sok pahlawan itu.”
“Tetapi saya mendengar sendiri dari Niken bahwa dia dan Aryo adalah sepasang kekasih.”
“Itu karangan dia saja. Lebih parah dari itu, mereka itu justru menuduh saya sebagai pengganggu. Mereka selalu menghina dan menuduh saya yang bukan-bukan tanpa mempertimbangkan perasaan saya sama sekali. Bahkan kini semakin menjadi saja lagak mereka. Kantor ini mau dijadikan apa? Setiap saat selalu bermesraan, ngendon dalam ruangan tertutup berdua-duaan. Siapa yang ndak keki, coba!”
“Saya tau bagaimana rasanya ceemburu,” kata Pamuagaran. “Tapi bagi saya, kecemburuan itu tidak ada apa-apanya disbanding karir yang hancur seperti yang sedang saya alami ini. Sungguh, saya tidak terima. Karir ini sudah saya rintis sejak saya berumur delapan belas. Begitu nama saya booming, tau-tau dia menghancurkannya begitu saja.”
“Barangkali karena sampeyan kurang hati-hati. Kedekatan sampeyan dengan Rayun Wulan kurang matematis. Bisa juga karena sampeyan sedang sial saja maka peristiwa itu tiba-tiba masuk Koran.”
“Sayapun tidak mengerti, bagaimana nyamuk-nyamuk pers tau dan datang ke apartemen saya? Apa ada yang memberi tau mass media?”
Raki Keleng menahan tawa di bibir.
“Mungkin saja begitu, siapa tau?” tanya dia balik.
Asap rokok terus mengepul. Sejak tadi Pamugaran memperhatikan, Raki Keleng tak henti-hentinya menyulut rokok. Begitu tinggal seujung jari, dia akan menarik lagi sebatang rokok dan menyulutnya. Terus begitu, dari satu batang rokok ke batang rokok lainnya. Asap terus mengepul dari lubang hidungnya, persis seperti asap lokomotip.
“Saya punya usul,” kata Raki Keloeng tiba-tiba.
“Apa itu?”
“Bagaimana kalau kita habisi saja si Brewok itu?”
“Ah! Jangan berlebihan.”
“Menurut saya itu tidak berlebihan,” ujar Raki Keleng dengan sudut bibir naik ke atas. Lanjutnya lagi,
“Dia telah melakukan sesuatu yang sangat buruk terhadap kita. Sampeyan telah kehilanagn karir samapeyan. Sayapun demiukian. Perasaan saya kepada Niken yang sudah saya bangun selama bertahun-tahun, harus kandas di tengah jalan. Sering dia bersikap baik kepada saya, kalau lagi marahan sama Aryo Brewok. Kalau sudah berbaikan, dia berubah jadi judes kepada saya. Demikian berulang-ulang. Lama-lama saya berpikir, dia menganggap saya ini apa? Ban serep? Mau dibawa kemana hubungan kami ini? Perasaan saya dipermainkan seenaknya oleh mereka. Saya laksana tambal butuh baginya. Selama berhari-hari saya berpikir, apa ndak lebih baik kalau saya habisi saja?”
Pamugaran menyandarkan punggung ke belakang.
Menurut penilaiannya, Raki Keleng adalah tipe anak muda yang terlalu menggebu-gebu. Bicaranya ceplas-ceplos, tidak berpikir panjang, temperamental, namun terbuka dan berwatak kasar.
“Menurut sampeyan, gimana caranya?”
Raki Keleng mendekatkan bibirnya ke telinga Pamugaran.
“Dengan bom,” bisiknya.
Pamugaran terlonjak kaget.
“Bom?” jeritnya tertahan.
Pamugaran langsung tertawa ngakak. Bom, katanya! Pastilah anak muda ini suka sekali dengan hal-hal yang sensasional. Dan pastilah dia amat suka menonton acara criminal di televise.
“Ya! Dengan memasang bom, di mobilnya!” tegas Raki Keleng tanpa memperdulikan tawa ejekan Pamugaran.
“Oh ya? Gimana cara sampeyan memasang bom di mobilnya? Sampeyan bisa?” ujar Pamugaran masih dalam sisa tawa.
“Akan saya pikirkan. Saya punya teman yang bisa mengajari saya. Bom itu akan meledak begitu mesin dihidupkan. Kunci kontak diputar, lalu….bummm…!”
Di ujung kalimatnya, Raki Keleng tertawat ngakak.
Pamugaran tersenyum lebar.
“Jangan-jangan teman sampeyan itu teroris.”
“Ndak masalah, teroris atau bukan, saya ndak peduli. Kalau perlu dia yang merakitkannya untuk saya pasang di kendaraan Brewok. Yang penting, jangan sampai ketauan orang pada saat memasangnya.”
Hmmm. Pikir Pamugaran tersenyum dalam hati.
Pintar juga anak itu merencanakan sebuah kejahatan. Tetapi apalah arti kejahatan selain sebuah kebaikan yang tersiksa oleh lapar dan hausnya sendiri? Sebenarnya, jika kebaikan itu menanggung kelaparan, dia akan mencari makanan walau sampai ke lorong gelap. Dan apabila dia dahaga, dia akan minum walau yang direguknya adalah air beracun.
“Boleh juga rencana sampeyan itu,” kata Pamugaran sambil mengusap dagu yang tidak gatal.
“Jadi, sampeyan setuju?”
“Begini saja, susunlah rencana itu dengan seksama. Saya bukan hanya setuju, tetapi bahkan sangat mendukung pada segi pendanaan. Maka pikirkanlah dengan lebih cermat. Berapapun biayanya, saya bantu.”
“Bagus!”
“Saya tunggu sampeyan besok, di tempat ini?”
“Jam berapa?” tanya Raki Keleng.
Pamugaran menengok arloji di pergelangan tangannya.
“Sama seperti sekarang,” sahutnya. “Jam empat. Akan saya bawakan dananya.”
Raki Keleng tertawa lebar. Dia berdiri dan mengulurkan tangan kanannya.
Pamugaran berdiri, menyambut tangannya dengan hangat dalam sebuah genggaman kuat yang sedikit meremas. Raki Keleng membalas jabat tangan itu dengan tak kalah hangat, tanda kesepakatan yang sudah terjalin.
Sebuah senyum misterius mengambang di sudut bibir Pamugaran.
(Bomnya meledak di episode berikutnya.)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar