Minggu, 25 Juli 2010

TROWULAN (25)


ANCAMAN.
Pemakaman sudah selesai.
Sebetulnya siapa yang dimakamkan? Bukankah yang ada cuma serbuk kehitam-hitaman bercampur serpihan tulang belulang? Mengapa manusia seputih Rustam, mendadak menjadi arang hitam seperti itu? Sungguh, Aryo tak habis mengerti, mengapa tak juga ada firasat tertentu yang menandai kepergian Rustam?
Seperti gila rasanya, saat dia menyaksikan kematian tragis sahabatnya itu. Tak pernah dibayangkan, justru mobilnyalah yang dijadikan pembantainya. Dia harus menyadari bahwa target pembunuhan adalah dirinya. Tetapi, apa dan siapa yang menginginkan kematiannya?
Setelah kejadian itu, Aryo harus rela berjalan bolak=balik ke Mapolsek sekadar memberikan penjelasan dan kesaksian atas kejadian itu. Beberapa karyawan museum bahkan sudah mengisyaratkan bahwa pelakunya adalah Raki Keleng, si biang kerok atau si trouble maker. Namun itu saja tak cukup untuk dijadikan bukti atas semua saksi yang bernyanyi menurut lagu semau gue. Polisi takkan sebodoh itu. Padahal ada satu saksi kunci yang sempat melihat bahwa ada dua orang yang berjalan mondar-mandir di sekitar jip celaka itu pada pagi hari sebelum kejadian. Salah satunya, …tak salah lagi, dialah orangnya. Raki Keleng. Tetapi mereka tidak yakin, sebegitu jahatkah Raki Keleng menjadi manusia? Atau…bisakah dia, mampukah dia…meletakkan bom di mesin Jip Nissan itu? Sepandai apakah dia? Sebab memasang bom pada mesin yang dihubungkan dengan kabel stater bukanlah pekerjaan yang gampang dan dapat dilakukan dengan waktu yang singkat. Maka satu-satunya harapan, polisilah yang harus membuktikannya. Sementara itu, Aryo Wangking seolah sudah tak mau memikirkannya lagi. Hatinya begitu terluka, dan semakin membicarakannya, semakin lebar luka itu menganga. Seharusnya dia sudah tau, ya, memang dia sudah tau. Tetapi apa gunanya? Dia hanya tak ingin mengatakannya pada orang lain, apalagi pada polisi. Sebab bisa saja itu dianggap sebagai sesuatu yang ‘ngoyo-woro’. BUkankah semua orang tau, Raki selalu memusuhinya? Dan apakah mereka tidak berpikir, dengan mengatakan hasil penglihatan gaib atau terawangan yang diketauinya itu, adalah semacam aksi timbal balik atas kebencian Raki keleng kepadanya? Hati dan pikirannya terus berputar sekitar peristiwa itu, dan terus berputar menggulung penyebab dari kebencian Raki kepadanya.
Apa yang membuat Raki Keleng tega berbuat sekeji itu, apa tujuannya? Kalau hanya menginginkan Niken, kenapa pula harus mengorbankan jiwa seseorang? Kebencian dan rasa iri dengki yang menyumbat pikiran waras, membuat Raki Keleng seolah telah berubah sebagai serigala yang haus darah. Licik, dan penuh tipu muslihat. Dan pada saat dia sudah tidak sabar lagi, inilah yang terjadi. Kegalauan pikiran yang bertentangan dengan suara hati nurani, bahwa sesungguhnya tak ada seorang manusiapun yang punya hati keji, kecuali sudah berubah menjadi setan, membuat Aryo malas melakukan kegiatan apapun selain terpekur saja di rumah. Termasuk : lupa mengapeli Rayun Wulan!
Hingga pada suatu siang, Aryo memaksakan diri masuk kantor. Ada perasaan tidak nyaman saat dia melangkah masuk ke halaman Museum. Rasa kesepian yang amat menyayat, sebab wajah Rustam yang selalu bijak, tak lagi bisa ditemui di sana. Hatinya serasa ‘gothang’. Kosong. Ada bagian yang hilang, yang tak lagi bisa ditemukan. Siang itu dirinya hanya menemukan Niken Pratiwi di teras depan Museum. Gadis itu duduk termenung sendirian sambil memeluk tas di dada. Wajahnya, alangkah murung. Sepertinya sedang memikirkan sesuatu. Sepasang matanya tak lagi bercahaya. Bibirnya tak lagi tersenyum ‘kenes’.
Aryo menjatuhkan diri duduk di sebelahnya.
Lama saling diam, akhirnya Aryo menyapa lebih dulu.
“Kamu kenapa, sakit?’
Niken menggeleng pelan.
“Aku sedang berpikir,” sahutnya.
“Apa yang kau pikirkan?”
“Banyak hal. Salah satunya adalah kejadian tempo hari. Kau tau? Aku sedang berpikir, jangan-jangan yang melakukannya adalah Raki Keleng.”
Aryo tertawa lirih.
“Kita serahkan saja pada pihak yang berwajib.” Ujarnya.
“Memang, tapi tak ada yang bisa melarangku untuk…”
“ Apa yang membuat kau menduga-duga seperti itu?”
“Kau kan tau, dia sangat membencimu, Aryo. Dia cemburu padamu, pada kelebihanmu, pada karirmu…!”
“Ah!” Aryo menepis dingin. “Apa kelebihanku, karirku? Omong kosong semuanya.” Katanya.
“Yang terutama, dia cemburu. Dia cemburu karena aku sangat emncintaimu.”
“Apa katamu?” Aryo menoleh dan tertawa ringan. “Kau mencintaiku? Benarkah masih ada cinta di hatimu, Ken? Orang seperti kamu, ….hahahaa….”
Niken menatap tajam wajah Aryo. Bola matanya merah, berselaput bening. Dia hampir saja tak bisa menahan jatuhnya cairan bening itu dari matanya.
“Apa kau pikir, aku seorang maniak, atau monster, yang…yang tak mengerti apa itu cinta? Ha? Kau tega menertawakan aku, Aryo, kau tak kenal siapa diriku…Kau melecehkan perasaanku…!”
Aryo menutup mulutnya rapat.
“Sori, Ken. Sesungguhnya memang, aku tidak kenal siapa dirimu. Kau bagaikan seekor kupu-kupu yang begitu indah dan menawan, tetapi rasanya sulit bagi seorang pria menangkapmu. Terbangmu terlalu cepat, kesana kemari…”
Niken mulai terisak.
“Kau bergaul dengan siapa saja. Semuanya seakan tidak ada yang lebih istimewa. Semuanya kau perlakukan sama. Tiada beda satu dengan yang lain. Jadi,…yah…” kata Aryo melanjutkan.
Dengan perasaan iba, Aryo memeluk bahunya.
“Nah, kau melamun lagi. Apa sih, yang ada dalam kepalamu, Ken?”
“Kau.”
“Aku?”
“Kalau saja kau jadi menikah dengannya, bagaimana dengan aku?”
Aryo mengulum senyum tipis, disentuhnya tangan Niken dengan lembut. Lalu katanya,
“Kita akan tetap berteman. Aku akan tetap mengingatmu sebagai salah satu teman terbaikku, bukankah selama ini kita selalu menjalaninya bersama dalam susah dan senang?”
Niken terdiam, mengangkat bahunya seakan tak percaya.
“Sudahlah, jangan terlalu dipikirin.” Dan Aryopun tertawa menghibur. Meringis sedikit, lalu katanya,
“Aku pipis dulu, yah? Kebelet, nih!”
Tanpa menunggu jawaban, Aryo sudah melompat pergi ke arah toilet di bagian belakang Museum.
Niken menarik nafas panjang, mendesah lirih. Dibiarkannya Aryo masuk ke dalam. Seperti bicara dengan dirinya sendiri, Niken mulai menggerumeng tak menentu. Bibirnya bergerak terus mengikuti jalan pikirannya.
Salahku sendiri, katanya menggumam. Seminggu belakangan ini aku emang muntah-muntah terus. Mencium bau kamar mandi, muntah. Mencium aroma bedak, muntah, makan buah segigitan, eh yang keluar malah seliter. Gila, aku memang sudah gila. Menagap semua itu kulakukan hanya karena perasaan cemburu yang menggosongkan hati? Kenapa aku jadi membabi membuta seperti itu? Siap ayah dari bayi diperutku ini? Ingat-ingat,…ayo…ingat-ingat…!
Masa lalu, sebelum mengenal Aryo Wangking, memang Niken amat dekat dengan Raki Keleng. Lalu datang Aryo singgah di hatinya. Laki-laki itu datang dari Yogya, bertubuh tinggi tegap, berbrewok, berkumis, gagah, ganteng, hangat, ramah, dan…Ya Allah, mengapa pula saat bersentuhan tangan sekujur tubuhku jadi merinding? Pikir Niken. Sentuhan tangannya saat menndekap dan meraba punggung, leher, dagu, bibir, dan dada….ya ampuuun… ciumannya sangat dahsyat. Lidahnya memelintir,bibirnya mengulum….
Lalu, saat Aryo sibuk mondar mandir Surabaya-Mojokerto,…Niken dibelit perasaan bingung dan cemburu. Begitu banyak laki-laki yang menginginkannya, mengapa harus seperti menunggu jatuhnya rembulan? Tak apalah melampiaskan hasrat kerinduan dengan laki-laki lain. Mereka itu ada yang pengusaha, kontraktor, pegawai perum,…dan semuanya begitu pandai merayu, menjilatinya bagaikan anjing geladak. Hingga mampu sejenak membuatnya lupa akan Aryo Wangking yang dikultuskan masyarakat setempat.
Hidupnya bukannya tambah terhormat, namun hanya semakin nista saja di mata orang. Laki-laki itu, semuanya, tak ada yang diketahuinya bertempat tinggal dimana. Merekapun tak lagi datang, atau peduli kepadanya. Lantas,…janin ini milik siapa?
Brengseknya aku, keluh Niken perlahan dengan leher penuh keringat. Begoknya aku! Mengapa aku menjalani semuanya itu tanpa rasa malu? Benarkah kata Raki, aku ini pelacur? Pelacur yang bagaimana? Pantaslah kalau orang seperti Aryo Wangking tak pernah bisa kuyakinkan tentang perasaanku kepadanya. Bukankah dia bisa melihat dengan kacamata spiritualnya bahwa aku….bahwa aku…
O Allah, Gusti!
Nyuwun ngapuro!
Ampunilah saya Tuhaaaannn….!
Niken membungkuk, menghapus air mata dengan ujung gaun dan telapak tangan yang gemetar karena takut akan azab Allah yang barangkali saat inilah ditimpakanNya kepadanya. Hatinya merintih, pedih, perih. Sekarang baru disadarinya, alangkah berbeda dirinya dibanding Rayun, di mata Aryo. Perbedaan itu begitu mencolok. Bagaikan menatap matahari, mata Niken jadi silau membelek.
Penyesalan memang selalu datang belakangan. Namun niatnya untuk memiliki Aryo tetap kuat. Biar saja orang mengira janin ini adalah milik Aryo. Niken sudah tak peduli lagi. Justru barangkali Rayunlah yang mundur teratur apabila tau Aryo sudah menghamili orang lain. Biar saja dia mati terkejut, mati berdiri atau mati membelalak. Pret, prĂȘt!
Tiba-tiba…
Tuli luli lulit…. tula lula lulit…..
Niken Pratiwi tersentak kaget, menengok ke samping. Suara itu terdengar dari arah dalam tas ransel milik Aryo yang ketinggalan di kursi sebelahnya. Niken melongok ke dalam. Sepi. Bayangan tubuh Aryo saja tidak kelihatan. Barangkali masih di toilet.
Tuli luli lulit,…tula lula lulit…
Telepon itu berbunyi lagi. Niken memberanikan diri membuka tas ransel milik Aryo dan mengeluarkan sebuah telepon genggam dari dalamnya. Dengan jelas, Niken bisa melihat bahwa yang menelpon adalah Rayun Wulan. Tertera di layar kaca telepon genggam itu. Perlahan, didekatkannya ke anak telinganya. Suara lembut mengalun memasuki otaknya.
“Halo sayang,…”
Niken menggigit bibir. Suara itu betapa indah. Dadanya terasa beku sesaat.
“Ar, kamu ada dimana sekarang?” suara itu mengalun lagi. Niken hampir saja tersedak, namun dengan sigap telapak tanganny mendekap bibir sendiri.
“Aku sudah hampir dekat Museum. Nih, Innovanya aku bawa sekalian buat kamu mondar mandir ke Surabaya, biar nggak repot naik bis. Jip kamu masih di bengkel, kan? Tolong dong, kamu siap aja di depan ya, supaya aku nggak usah turun. Kita langsung saja, oke?”
Niken memutuskan hubungan telepon dengan jemari gemetaran. Cepat, ponsel itu dimasukkannya lagi ke dalam ransel. Segera dia sadar, bahwa hubungan Aryo dan Rayun tak lagi main-main. Mereka akan segera melangsungkan pernikahan, kata Aryo. Benarkah? Memang Niken sempat tidak percaya, dan berpikir, ‘mana mau, gadis seperti Rayun mau sama Aryo’? Lantas, kini gadis itu datang mengantarkan Innova! Wah, bukan main! Apakah seperti itu anak orang kaya merayu lelaki? Dengan memberikan hadiah mahal? Seperti handphone, misalnya. Dan mobil? Atau, rumah gedung berlantai dua? Sekalian jalan-jalan ke luar negeri, begitu?
Huek….huek…!
Niken mau muntah rasanya karena mendadak jadi stres.
Oh, bukan hanya ingin muntah. Namun kini dia benar-benar harus berlari masuk karena benar-benar sudsah muntah. Masih sempat dilihatnya, sebuah Kijang Innova silver masuk ke halaman Museum. Seorang gadis turun, tubuhnya lampai, berkulit bersih, rambut hitam legam, dan wajah sedikit keindo-indoan. Tumitnya memakai selop yang serasi dengan gaunnya. Melangkah bagaikan seekor angsa, mendekat,…mendekat…
Aaaaggghh!
Niken berlari masuk, makin cepat makin baik. Hatinya perih, dadanya sesak. Niken makin merasa dirinya hanyak seekor itik yang buruk rupa. Kakinya bergerak cepat bagai dikejar setan. Namun belum lagi sampai ke depan pintu toilet, perutnya sudah tak tahan lagi. Dia sudah hoek hoek lagi. Menabrak Aryo di lorong, lalu ambruk ke dalam dadanya.
“He! “ Aryo berteriak. “Ada apa ini?”
Namun mendadak tubuh Niken terasa amat berat. Gadis itu menggelandot, dan hampir saja menggelosor ke lantai kalau saja Aryo tak cepat tanggap atas sesuatu yang terjadi.
“Ken…Ken! Kau pingsan, ya? Waduh, gimana sih kau ini. Ken…Ken…”
Aryo segera mengangkat tubuhnya, menggendongnya ke sofa. Membaringkan tubuh gadis itu pelan-pelan, namun mendadak saja Niken memeluknya erat dan mencium bibirnya kuat-kuat. Aryo kian gelagapan tatkala tiba-tiba dari arah pintu, muncul wajah Rayun.
“Ar…yo…?”
Cepat Aryo berusaha menguraikan lengan Niken yang melingkar di lehernya.
“Oh,…kau Rayun…”
“Kenapa dengan dia?” tanya Rayun keheranan seraya melangkah mendekat.
Aryo mengangkat bahu dengan sikap kikuk.
“Entahlah, tahu-tahu pingsan begitu saja.”
“Tadi kulihat dia nggak apa-apa di teras depan.”
“Ya, akupun merasa tadi dia tidak apa-apa.”
Aryo mencoba tersenyum.
Rayun membalas senyumnya dengan sebuah seringai pedih.
“Tadi kulihat dia…menciummu,” ujar Rayun pelan.
“Oh, masa? Aku…tidak merasa…”
“Itu seperti sebuah eksekusi kejam bagiku, Aryo.”
“Sori, tapi sejak beberapa hari yang lalu dia memang terlihat kurang sehat. Entah mengapa hari ini tiba-tiba dia…Kurasa…kurasa,…mmmm…”
Aryo kian tidak enak hati melihat wajah Rayun tak terlihat marah. Hanya saja lebih pucat dari biasanya. Mungkinkah dia sakit hati? Cilaka, kalau benar begitu, pikir Aryo gelisah.
“Coba tanyakan, sudah ke dokter, belum?”
“Katanya sih, belum. Entahlah.”
“Siapa namanya?”
“Niken. Niken Pratiwi.”
Niken tetap memejam. Bibirnya membungkam. Airmatanya seakan ingin tumpah. Namun ditahannya meski ada duka nestapa yang meruyak di dada. Kalau gadis cantik itu bisa menahan diri, mestinya aku juga harus bisa menahan diri, pikir Niken.
Terakhir, dirasakannya ruangan lebih sepi. Niken beranjak duduk. Benar, Aryo telah mengajak Rayun ke ruang pustaka. Mereka berbicara lama di ruang itu.
Niken mengatupkan telapak tangan ke wajah, menangis diam-diam. Wajahnya tengadah saat terdengar gereten Raki yang bermerk Zippo berbunyi ‘cling’ saat dinyalakan. Dilihatnya Raki Keleng tengah duduk di depannya sambil menyulut sebatang rokok.
“Kau menangis?” tanya lelaki berkulit hitam berambut ikal itu dengan lagak tengik.
“Cemburu?” ujarnya lagi sambil menghembuskan asap dari hidung.
Niken menghapus sisa airmata dengan sehelai tissue.
“Ken, Ken! Kau mimpi barangkali. Lihatlah si Rayun itu. Bukankah dia sangat cantik dan anggun? Bandingkan dengan dirimu, betapa jauh bedanya. Sebesar apapun usahamu merebut Aryo kembali, kau takkan berhasil. Seberapa kuat usahamu, tak akan bisa lagi merenggut jagoanmu itu dari tangannya. Lebih baik kau dengan aku saja. Kwinlah denganku. Jadi istriku! Aryo Brewok itu sudah amat dekat ke pelaminan, Ken. Sadar, dong! Dia bahkan gembar gembor ke sana ke sini. Gadis itu anak orang kaya, Ken. Anaknya konglomerat. Apalagi yang kau tunggu? Aku sanggup kok, menghidupi kamu lahir batin. Tak ada gunanya menunggu bulan runtuh dari langit!”
“Kamu ini ngomong apa, Ki! Membual terus!”
“Aku bicara tentang realita. Kenyataan> Sekarang kau mau bilang apa pada dunia? Ha?” Bahwa kau dan Aryo masih…?”
“Aku memang akan bilang begitu pada dunia, memang kenapa?’
Hebat! Rasa percaya dirimu memang cukup besar. Tak salah aku memilihmu sebagai sebuah damba yang tak pernah padam. Cuma,…apa kau tidak terlalu berlebihan?”
“Aku akan bisa membuktikan bahwa aku sedang mengandung anaknya.”
Raki Keleng terlonjak.
“Uts! Jadi benar kau hamil?
Raki Keleng tertawa ngakak.
“Kau mencoba menjeratnya, begitu? Hahaha….dasar perempuan. Seharusnya kau tau bahwa di sana ada tetesan darahku. Anak itu, kalau ia memang harus lahir, pasti punya bapak lebih dari satu. Hahaha….gila. Dunia ini memang sudah gendeng. Hahaha….”
“Tutup mulut kamu yang busuk itu, Raki! Kau memang bedebah!”
Raki keleng masih menyisakan tawa besarnya. Namun sepasang matanya menyambar tajam.
“Dengar Niken, aku ini laki-laki normal. Sebusuk apapun aku, tak suka dihina perempuan yang sama bedebahnya dengan diriku. Atau kutampar mulutmu!”
“Tampar! Tampar! Sekali saja kau menamparku…”
“Baik. Ini. Rasakan!”
Tangan Raki Keleng bergerak cepat.

(Berlanjut sabtu depan, bye bye)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar