Senin, 16 Agustus 2010
TROWULAN (29)
TENGAH HARI DI CURAHMAS.
Saat ‘laut’, demikian istilah yang digunakan di perkebunan untuk jam istirahat siang hari bagi para karyawan, seseorang tampak masuk ke halaman rumah kepala perkebunan. Om Harso yang kebetulan adalah kepala perkebunan, menatap tajam pendatang bermotor dan berjaket kulit itu. Ditunggunya sampai lelaki itu mematikan mesin. Dilihatnya kemudian orang tersebut menanggalkan helm, mengangguk takjim kepadanya. Om Harso membiarkan orang tersebut turun dan menstandard motor, melangkah tegap namun sopan, mendatanginya. Rambutnya yang ikal sedikit gondrong, mengenakan topi. Berjanggut dan berkumis lebat, namun tampak teratur rapi. Senyumnya manis menghiasi bibirnya saat mereka berdiri berhadapan.
“Assalamualaikum,” sapa lelaki muda itu.
“Walaikumsalam.”
“Maaf, saya Aryo Wangking dari Surabaya, Pak.”
“Oh,…temannya Rayun ya?”
Lelaki muda berbrewok itu merekahkan senyum lebar.
“Maaf, Pak. Saya mendengar Rayun ada disini. Apa benar, Pak?”
“Benar sekali, nak Aryo. Tapi dia kini sedang berada di bukit sana itu, lagi nyepi, katanya.”
Om Harso tertawa, Aryo ikut tertawa. Dia tau, itu hanya sebuah canda penuh keakraban dari lelaki tua berkacamata di depannya itu.
“Mari, silakan masuk. Pasti melelahkan menempuh perjalanan dari Surabaya dengan mengendarai motor,” ujar Om Harso lagi.
Mereka mengambil tempat duduk masing-masing di ruang tamu.
“Dan panggil saja saya Om. Kita ngobrol sebentar sambil beristirahat. Pukul berapa berangkat dari Surabaya, Nak?”
“Sekitar jam tujuh.”
Seorang pelayan muncul dengan dua cangkir teh hangat dan dua toples kue-kue.
“Silakan diminum, Nak.”
“Terimakasih.”
Merekapun menikmati hidangan sambil mengobrol panjang lebar, sekadar berbasa-basi, atau saling menceritakan jati diri masing-masing yang berhubungan dengan Rayun. Hingga percakapan itu menyentuh masalah yang sedang dihadapi Rayun saat ini. Aryo mencoba meyakinkan Om Harso bahwa hubungannya dengan Niken itu sudah lewat. Dia tidak mengingkari bahwa mereka memang pernah berpacaran.
“Tetapi itu dulu, saat saya belum mengenal Rayun,” kata Aryo.
“Maaf Nak Aryo, apakah benar gadis itu sedang mengandung?”
Lama Aryo terdiam.
“Saya belum tau betul, apakah dia memang sedang hamil,” sahutnya kemudian.
“Kata Rayun, itu adalah hasil hubungan kalian. Apa betul begitu?”
Beberapa saat Aryo terkesiap.
“Apakah…Rayun mengatakan hal itu kepada Om?”
“Ya.”
“Ada seorang laki-laki bernama Raki Keleng yang sangat kasmaran dengan Niken,” kata Aryo mencoba menjelaskan. “Laki-laki itu begitu benci kepada saya, bahkan mungkin kebencian itu sudah mendarah sungsum, hingga membawa korban jiwa.”
“Maksudnya?”
“Laki-laki itu memasang bom di mobil saya, mencoba melenyapkan saya.”
“Lalu?”
“Jip saya meledak, namun bukan saya korbannya.”
“Siapa yang menjadi korbannya, nak?”
“Teman akrab saya, yang sedang ingin meminjam jip saya. Dia tewas seketika.”
“Astaga! Sampai seperti itu?”
“Ya, Om. Raki Keleng inilah yang memfitnah saya, melontarkan kata-kata yang sangat mempengaruhi pikiran Rayun. Barangkali itulah yang akhirnya membuat Rayun pergi meninggalkan saya tanpa pamit.”
“Tetapi, betulkah itu bukan karena dirimu?”
“InsyaAllah, bukan saya.”
Om Harso menghembuskan napas panjang. Melepaskan kacamata dan memasukkannya ke saku. Sepasang matanya berkedip-kedip memperhatikan raut muka Aryo, seakan-akan ingin menemukan kebenaran dari setiap ucapannya.
“Nak Aryo, saya ini orangtua, memang bukan orangtua kandungnya, namun bagi saya Rayun adalah lebih dari sekadar keponakan. Saya tau betul karakternya. Anak ini, sekali bilang merah, maka merah pula katanya sampai mati. Hatinya keras. Namun dia sangat jujur pada orang lain, terlebih pada hatinya sendiri. Soal apakah kau yang benar, atau dia, saya tidak tau. Hanya saja, saya yakin dirimupun sama tersiksanya dengan dirinya. Kalian pernah saling mencintai, namun kejadian itu bisa saja membuat kalian tak bisa bersama lagi kecuali…”
“Kecuali…?”
“Kecuali kau bisa membuktikan bahwa itu bukan perbuatanmu.”
“……….…”
“Nak, kau pasti sangat menyesalinya. Penyesalan itu seakan-akan merupakan pengadilan yang langsung dijatuhkan Tuhan pada kalian. Tanpa diminta. Sesal yang pedih datang menyelinap dan membangunkan kalian agar terjaga dan mulai mawas diri dalam-dalam.”
Raut wajah Aryo sebentar pucat sebentar merah. Perasaan galau dalam hatinya seakan terbaca secara terang benderang oleh tatap mata Om Harso. Dikupas, ditelanjangi.
“Sekarang susullah dia,” kata Om Harso kemudian.
“Saya?”
“Ya. Kau lihat di sebelah Selatan rumah ini ada sebuah bukit. Disitu biasanya dia bermain. Ada gua bernama Gua Macan. Kau bisa naik kuda kesana, sebab tempat itu tidak bisa ditempuh dengan kendaraan bermotor.”
Tanpa menunggu jawaban, Om Harso mengajaknya ke belakang. Memerintahkan pelayan bernama Supeno untuk menyiapkan seekor kuda berbulu abu-abu untuk Aryo.
“Kau pernah berkuda?” tanyanya tersenyum.
Aryo jadi jengah menerima pertanyaan itu.
“Sebetulnya belum pernah tapi saya akan coba,” sahutnya.
“Itu kan hal yang mudah dipelajari, yang gaib-gaib saja bisa kok.”
Aryo tertawa.
“Kabarnya dirimu seorang supranatural. Betulkah itu?”
“Ah. Saya jadi malu, Om.”
“Kanapa musti malu. Itu sebuah anugerah yang tak semua orang mendapatkannya.”
“Jujur, saya tidak mempelajarinya. Saya mendapatkannya begitu saja sejak saya kecil. Seakan-akan sebuah takdir bagi saya.”
“Ya, mungkin itu memang sebuah takdir. Asalkan kau bisa mengendalikannya dan tidak terbawa hasrat yang tidak benar maka semuanya akan jadi baik bagimu maupun bagi orang lain.”
“InsyaAllah, saya selalu ingat pesan Om.”
“Hm.”
Kuda dawuk sudah siap. Om Harso mempersilakan Aryo segera berangkat. Saat menyaksikan Aryo naik ke atas punggung kuda, Om Harso seperti melihat seorang kesatria yang tiba-tiba saja menjelma di depan matanya. Lelaki brewok itu sama sekali tak terlihat canggung. Bahkan dengan penampilannya, dia seakan-akan seperti seseorang yang telah menyatu dengan kudanya.
Om Harso tersenyum. Dia tau, barangkali inilah sosok Aryo yang sebenarnya. Tak disangkal lagi, dia memang pantas menjadi titisan Mpu Nambi, seorang panglima perang pada jamannya.
Aryo mengangguk, tersenyum sambil meyentuh tepi topinya sesaat. Om Harso terpana sejenak, dan membisikkan sebuah pujian atas kekuasaan Tuhan. Subhanallah…! Dia memang benar titisan!
Kuda dawuk itu meringkik panjang sebelum benar-benar melesat pergi. Seakan Aryo sengaja memacunya kencang menuju bukit Gua Macan.
Tiba-tiba Om Harso mendengar sebuah derum kendaraan bermotor lain memasuki halaman. Bergegas dia menuju halaman depan, dan melihat sebuah sedan mewah berhenti di sana. Seorang laki-laki tampan turun. Mengunci pintu, dan melangkah ke beranda.
“Selamat siang.” Katanya sambil mengulurkan tangan.
Om Harso menerima jabat tangannya.
“Selamat siang. Mencari siapa ya?”
“Saya Pamugaran, teman baik Rayun. Apakah Rayun ada disini, Pak?”
Jadi ini lelaki bernama Pamugaran itu! pikir Om Harso. Lelaki yang sudah berumur, namun terlihat muda dan berkulit bagus. Pasti sangat terawat. Dan sangat mapan. Lihat saja cara dia berpakaian. Necis dan modis. Lelaki yang sukses. Tetapi….ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Om Harso merasa tidak suka. Entah apa. Mungkin pada sorot matanya, atau pada segaris senyum yang menorehkan segores kesombongan dan rasa percaya diri yang berlebihan.
“Memang Rayun ada disini. Ada keperluan apa, ya?”
“Ada yang harus saya sampaikan kepadanya.”
“Katakan saja, nanti akan saya sampaikan.”
“Oh, maaf. Kalau boleh tau, Bapak ini siapanya Rayun?”
“Saya Omnya.”
“Oh, sekali lagi saya mohon maaf.”
“Tidak apa-apa.”
“Tetapi saya harus bertemu sendiri dengan dia, Om.”
Om Harso tertawa miring. ‘Om’, katanya! Memangnya kapan kau jadi keponakanku? Umurnya saja cuma berbeda sedikit, kok memanggilku ‘Om’.
“Kalau begitu susul saja.”
“Kemana? Apakah dia sedang tidak berada di rumah?”
“Dia sedang jalan-jalan ke bukit.”
“Sendirian?”
“Tidak. Dia bersama Aryo Wangking.” Sengaja Om harso menekankan ucapannya untuk memanas-manasi lelaki yang terlihat sok itu. Dan Om Harso senang saat melihat mata sipit itu mendadak menyorotkan kemarahan.
Cemburu kan kamu? Cemburu kan? Pikir Om Harso nakal.
“Anda kenal Aryo, kan?”
“Ya, saya mengenalnya dengan baik.”
Pamugaran melihat ke arah motor yang tadi dikendarai Aryo.
“Itu motor milik Aryo, Om?” tanya dia.
“Ya.”
“Biar saya pinjam, Om.”
“Silakan saja. Kunci kontaknya masih nyantol disitu kok.”
Pamugaran sedikit merasakan ketidaksukaan Om Harso kepadanya. Dia meletakkan kunci mobil ke tangan Om Harso sambil mengangguk.
“Ini kunci mobil saya.”
“…………..”
“Arah bukit Macan di sebelah mana, ya?”
“Tuh, lewat saja ke jalan makadam itu, terus ke Selatan sana. Bukitnya yang itu, terlihat dari sini.”
“Terimakasih, Om.”
“Ya, sama-sama.”
“Saya pamit dulu.”
“Silakan.”
Lelaki bertopi sofbol itu langsung saja memacu motor menuju bukit Macan. Om harso menatap kepergiannya dengan dada manyun. Seperti ada sesuatu yang tidak beres. Sepertinya dia melihat ada sesuatu yang menyembul dari balik jaket lelaki itu. Apa ya…kok seperti…! Ya Ampuuuun. Bukankah itu selempang kulit semacam sarung pistol, yang sering dilihatnya dalam film detektif,yang selalu dikenakan para polisi? Ah, jangan-jangan…
“No, Supeno!” Om Harso berteriak memanggil pelayannya.
“Ya nDoro Kakung…”
“Siapkan kuda untukku dan kamu. Kamu ikut aku ya, ke bukit Macan.”
“Lho…, nDoro? Bukankah tadi…?”
“Wis, ojo kakeyan ngomong. Sana, siapkan dua kuda untuk kita. Cepetan, No!”
“Inggih, inggih….”
“Ciloko! Ciloko tenan kalau terjadi apa-apa disana…!”
(Wah, tembak2annya ada di episode berikutnya)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar