Minggu, 05 September 2010

TROWULAN (30)


BUKIT GUA MACAN.

Udara pagi setengah siang, masih juga menebarkan bau harum daun cemara yang tumbuh di sela sela batang pohon karet yang mulai tua. Angin semilir membuat Rayun jadi mengantuk. Ditutupnya laptop, dan mencoba berbaring di lereng bukit. Sepasang matanya menatap redup bentang langit biru jernih yang kadang menyeruak di antara kerimbunan dedaunan di atasnya.
Seindah apapun berada di bukit itu, Gua macan adalah suatu tempat yang mulai jarang dijamah orang.
Buruh perkebunan rasanya sudah enggan mendaki sampai ke ujung bukit untuk menoreh getah. Paling juga hanya sampai ke lereng. Maka sebetulnya, yang dikuatirkan oleh Om Harso adalah munculnya binatang melata di situ. Kelengangan, kelembaban, membuat tempat itu jadi terasa lebih wingit dari bukit-bukit lainnya. Memang, kesunyian bukit itu terasa sekali bagi Rayun Wulan. Orang-orang, para ‘penderes’ itu tak lagi ditemukannya berseliweran di sekitarnya seperti dulu. Seperti kata Om Harso, pepohonan di tempat itu sudah tak lagi berproduksi. Getahnya sudah kering. Pohonnya sudah tua. Hutan di bukit itupun nyaris gundul.
Rayun menggeliatkan punggung.
Teringat dia akan Rudy dan Putri, dua teman sebaya, putra dan putri Om Harso yang masih terbilang saudara sepupu baginya. Mereka bertiga sering sekali datang ke tempat itu, bermain, atau berharap kedatangan ‘tarzan’.
“Mana ada Tarzan disini,” kata Rudy mencemoh.
“Pasti ada,” tangkisnya.
“Ada, tetapi cuma dalam cerita komik.”
“Aku yakin kok, pasti ada. Dan suatu saat akan datang menculikku.”
“Ih, diculik kok dijadikan cita-cita,” sahut Rudy lagi tertawa ngakak.
“Kalau Tarzannya ganteng, kenapa enggak? Boleh dong…”
“Lantas kau digituin. Mau?”
“……….??.”
“Lantas kau hamil.”
“Ih!”
“Padahal dia nggak mungkin bisa mengawinimu.”
“Kenapa, memang?”
“Mana ada Tarzan punya uang untuk mengawinimu?”
“Tarzannya Rayun lain,” potong Putri. “Tarzannya Rayun kaya raya dong….!”
“Orang hutan, mana ada yang seperti itu!” jengkel sekali Rudy.
“Siapa tau, ada.”
“Lebih baik kau jadi isteriku saja.”
“Hiiiii…..”
Lantas saja mereka bertiga tertawa tawa, membayangkan Rudy jadi suami Rayun, Rayun menjadi isterinya Rudy……
Angin lembut bertiup menempiaskan rasa kantuk yang kian berat. Rayun membiarkan kedua matanya terpejam, menyungging seulas senyum di bibir, dan mulai jatuh ke alam mimpi. Tubuhnya terasa ringan menapak rerumputan yang terasa lebih subur ketimbang sebelumnya. Sosok lelaki muda, tampan berkulit bersih datang kepadanya dengan senyumdi bibir. Pakaiannya dari kain katun tipis,berwarna putih dan berpotongan lebar. Demikian juga dengan celananya. Kedua kakinya tanpa alas. Lelaki itupun menyapanya, seakan kawan lama yang lama tak berjumpa.
“Sedang apa kau ada disini?” katanya.
Rayun membiarkan lelaki itu memeluk pinggangnya, mereka kemudian duduk berdampingan seakan-akan sepasang kekasih.
“Aku sedang berpikir,” sahut Rayun sambil terus mengingat-ingat,…. siapa ya nama lelaki ini? Pernah mereka akrab, tetapi kapan,…dan siapa dia….?
“Kenapa sih, perempuan selalu pergi ke luar kota utuk berpikir?”tanya laki-laki itu.
“Aku hanya ingin suasana tenang yang tak terganggu siapapun.”
“Kau sedang gelisah.”
“Ya, mungkin saja.”
“Kau sedang bingung memilih sang Senapati, ataukah sang Juru Sungging? Sebetulnya ada tiga perkara yang membuatmu gelisah seperti ini.”
“Apa itu?”
“Satu, kau merasa terbelenggu dalam kerapuhan jiwamu. Yang sering menjadi ajang pertarungan seru dimana akal pertimbanganmu berperang melawan hati dan dera napsu. Dua, mencintai, sekaligus membenci. Marah, dan cemburu. Sakit hati yang berlebihan, membuatmu tak bisa bergerak lagi. Tiga, berkeinginan untuk menguasai orang lain.”
Rayun menggoreskan senyum sinis di bibir. Orang ini sok tau bener sih! Pikirnya.
Orang itupun kembali bicara:
“Karena kau merasa tidak dapat menguasai pergumulan itu, maka timbul rasa putus asa, enggan, malas, bosan, dan ingin menyudahi semuanya. Kau ingin bebas. Lepas dari semua hal yang mengikat. Lepas dari semua komitmen. Ingin mematahkan belenggu perasaan marah, kecewa, sakit hati karena cemburu yang membakar jiwa. Kau ingin bersultan di mata, ber raja di hati. Kakimu ingin bebas melangkah tanpa hambatan. Tak perlu lagi mencemaskan waktu atau laku. Bebas tanpa batas. Barangkali inilah saat kau tau siapa Senapati, siapa Juru sungging. Sebagai teman, aku hanya mampu mengawasi, dan menunggu di kejauhan.”
Rayun beringsut menjauh, dan menatap tajam wajah cakap di sebelahnya.
“Begitukah pikirmu? Siapa kau ini sebenarnya, paranormal, dukun, atau apa?” ujarnya tajam.
“Aku ini temanmu, Rayun. Aku….Naga Tatmala.”
Rayun membelalakkan mata. Bumi seakan amblas di bawahnya. Ringan dirinya jatuh dari langit. Halilintar seakan pecah membelah angkasa, menggelegar, berkilat kilat bagai pedang terhunus.
Rayun tersentak kaget, terbangun dari kelelapannya yang hanya beberapa menit berselang.
Yang pertama dilihatnya adalah….
“Ar…yo…?”
Aryo Wangking tersenyum. Dia duduk bersila di sampingnya, seraya menangkupkan kedua telapak tangan dengan takzim.
“Ap…apakah aku tertidur?”
“Sepertinya lelap sekali,” sahut Aryo.
“Aku bermimpi…”
“Bertemu Naga Tatmala?”
“Bagaimana kau tau?”
Aryo tertawa. Aku, kok!.. kata Aryo dalam hati.
Rayun membenahi duduknya. Kini mereka duduk berhadapan.
“Sudah lama kau berada di sini?” tanya Rayun.
“Beberapa menit. Kulihat tidurmu nyenyak sekali, jadi aku tak berani membangunkanmu.”
“Naga itu, Ar. Naga itu datang lagi.”
Aryo menghela nafas panjang.
“Itu janjinya, Rayun. “
“janji apa?!”
“Janjinya padaku, untuk terus menjagamu. Sampai….”
“Sampai…..?”
Aryo menundukkan wajah, mempermainkan jemarinya sejenak, kemudian kembali membalas tatap mata keingintauan di depannya.
“Sampai tiba waktunya kau kembali kepada penciptamu.”
“Uuuts! Aku nggak percaya segala omongan macam itu, kau tau itu Aryo!”
Aryo tersenyum tipis.
“Kau boleh tidak percaya, tetapi ketauilah, bahwa tak boleh kita bermain-main dengan siluman. Kita tak boleh bilang begini, lalu dilain waktu bilang begitu. Mereka itu tidak sama dengan kita. Yang suka bohong atau ingkar janji.”
“Seperti dirimu?” jeling Rayun setengah mengejek.
Aryo masih tetap memainkan ibujari kiri dan kanan, diputar-putar seakan dengan berbuat begitu dirinya bisa meredam kegugupan yang mendadak menyedak.
“Aku bukan pembohong, pun bukan seorang yang suka ingkar janji.”
“Oh ya?”
“Ya.”
“Aku tidak percaya!”
“Kamu harus.”
“Ah!”
“Dengar Rayun, kamulah satu-satunya wanita yang aku cintai dan kukehendaki menjadi ibu dari anak-anakku. Kau boleh percaya boleh tidak tentang cerita reinkarnasi, bahwa sebenarnya dirimu adalah calon isteriku di masa yang lampau, di masa pemerintahan Prabu Brawijaya Pertama. Namun nasib berkata lain. Dirimu terbunuh, dan hingga aku tewas, aku tak pernah melakukan ‘palakrama’.”
Rayun tertawa.
“Kau pasti kebanyakan baca buku komik.”
“Tidak. Ini kenyataan. Namamu pada waktu itu Ni Rara Ireng, dan aku Mpu Nambi”
“Begitu ya?”
“Kau masih tidak percaya?”
“Kalau benar begitu, ceritakan padaku, siapa Niken itu?”
“Niken? Maksudmu,…gadis di museum itu?”
“Gadis yang tengah hamil itu, kau tau kan, dengan siapa dia hamil?”
Aryo Wangking tertawa tanpa suara.
“Niken itu teman waktu kuliah di Jogja dulu.”
“Mmm….maksudku, dulunya. Pada jaman dulunya, dia itu siapa?”
“Dia? Ya,…bukan siap-siapa. Dia hidup di jaman kini, aku tak pernah tau dulunya dia itu siapa. Dan itu tidak ada hubungannya dengan kita. Bagiku tidak penting.”
“Tapi sekarang dia ada hubungannya denganmu, kan?”
“Tidak. “
“Masa?”
“Sekali lagi: ti…dak!!”
“Terus, anak siapa itu yang ada di perutnya.”
“Entahlah. Mana aku tau?”
“Katamu kau bisa melihat apa saja yang orang lain tidak bisa melihat.”
“Memang. Itu adalah takdirku. Namun, sungguh tak layak kalau aku menyebutkan nama, bisa menjadi fitnah.”
“Ah, nonsens!”
“Ayolah, Rayun. Apakah belum cukup bila kukatakan aku benar mencintaimu? Sungguh, kalau ada tindakanku yang membuatmu sakit, aku minta maaf. Aku sayang padamu, maka tak mungkin bisa aku menyakiti perasaanmu. Demi Allah…!”
“Jangan lagi bersumpah seperti itu, cukup dengan permintaan maaf. Seingatku, kau tak pernah minta maaf padaku. Maka kuhargai permintaan maafmu itu.”
“Terimakasih.”
Aryo tersenyum. Ya Allah, bisiknya dalam hati. Semoga kau jaga hati dan cintanya untukku. Meskipun kian hari kian tampak olehku kekerasan hatinya, ketegasannya maupun kegarangannya. Sama sekali tak sama dengan penampilannya yang selembut angsa.
Namun, rupanya Tuhan sedang tak ingin mengabulkan permohonan Aryo karena tiba-tiba saja, ponsel di saku celananya berdering.
Matik aku!
Aryo menggigit lidah. Dari nalurinya, dia tau, itu adalah Niken. Angkat tidak, ya? Angkat…tidak…., angkat…tidak…
“Tuh, kenapa nggak diangkat?” suara Rayun terdengar sumbang.
Enggan, Aryo terpaksa membuka ponselnya.
“Ada apa, Ken?”
“……….”
“Kau hamil beneran atau tidak, nggak ada hubungannya denganku!”
“………”
“Terserah. Cuma kau yang tau.”
“……….”
“Berapa banyak laki-laki yang terlibat di dalamnya, demi Tuhan, itu urusan kamu Ken, sorry….”
Rayun mengambil ponsel dari tangan Aryo. Percakapan yang tidak jelas antara Niken dan Aryo membuat kepalanya nyaris meledak. Rasa-rasanya sudah tak perlu lagi berpura-pura lembut dan baik hati. Rayun sudah amat benci berada dalam situasi seperti ini.
“Halo, Niken?” kata Rayun getas.
“Ya. Oh, sori. Terganggu ya?”
Di sana, Niken tertawa ngakak dalam hati. Ini waktunya kamu semaput Rayun. Kau, si bocah manis yang kaya raya…! Rupanya tertarik juga kamu mendengar apa yang kubicarakan dengan Aryo, ….haha….!
“Sebenarnya ada apa sih?” tanya Rayun gemas.
Tawa Niken semakin lebar.
“Barusan aku tes ke laboratorium. Hasilnya, positif.”
“Lantas, maksudmu apa?”
“Suruh Aryo bertanggungjawab.”
“ …………!!!....”
Rayun merasa dirinya seperti dicekik, mulutnya mengering dan suaranya menghilang tiba-tiba. Matanya nanar menatap Aryo yang berada di sisinya. Wajah brewok itu mendadak berubah jadi seperti setan, di matanya. Senyumnya, menyeringai dan mulutnya bertaring. Tanpa kata, ponsel itu dilemparkannya tepat mengenai jidat Aryo.
“Rayun….apa-apaan?” Aryo berteriak kesakitan.
“Dengarkan sendiri apa katanya!” Rayun ikut berteriak.
“Halo, Niken. Apa mau kamu sih?” suara Aryo tak lagi pelan. Namun terdengar seperti guntur. Lelaki brewok itupun rupanya sudah kehabisan stok kesabaran. Ingin rasanya menggampar Niken, seperti yang pernah dilakukan Raki Keleng saat itu. Benar, perempuan ini ternyata nyinyir juga! Busyet!
Rayun berdiri, berjalan menjauh dengan tangan bersidekap menahan dada yang mau meledak. Kesetiaan, kejujuran, moralitas! Apaan? Semuanya bullshit! Apa yang dikatakan Aryo barusan mendadak jadi busuk semua. Sampah! Tak perlu lagi dibahas. Kepercayaannya terhadap lelaki yang mengaku titisan itu terkikis habis. Barusan dia merasa, mereka akan bisa menjalin kembali hubungan dengan baik, tetapi perempuan itu mendadak saja menghancurkan semuanya. Hancur cur cur!
Aryo tak sudi lagi mendengar suara Niken yang ‘ngalor ngidul’, melantur kemana-mana. Padahal bagi Aryo sudah jelas, janin dalam perutnya itu milik orang banyak! Naudzubillah……Kok ya ada perempuan seperti itu! Ditutupnya ponsel, dan melihat Rayun sudah tak nampak lagi didekatnya. Celingukan, Aryo mencari-cari. Berlari-lari kecil mengejar bayangannya. Namun….
“Sampeyan…!” desis Aryo merandek, berhenti tepat di depan sosok Pamugaran yang mengacungkan pistol.
Pamugaran tertawa menyeringai.
“Ya, saya. Kaget melihat saya ada di sini?”
“Saya hanya tak merasa perlu memprediksi keberadaan sampeyan.”
“Kalau kamu ada disini, kenapa saya tidak?”
“Sampeyan datang untuk apa? Saya yakin, Rayun tidak akan mengundang sampeyan. Saya rasa, sampeyan telah bersekongkol dengan Raki dan Niken….”
“Tepat! Kami memang bersekongkol untuk membinasakan kamu.”
Aryo tertawa. Dibukanya dadanya lebar-lebar, sambil merentangkan kedua lengan ke samping, dia berkata mengejek,:
“Silakan, silakan membinasakan saya. Saya tidak akan menghindar, apapun yang akan sampeyan lakukan dengan keyakinan sampeyan. Silakan! Kalau saya mati, sampeyan mau apa? Mau mengambil Rayun? Dengan paksa, atau dengan cara perdukunan? Dengan pellet? Dengan….apa?”
“Diam! Tutup mulut kamu!”
“Oke,…oke…”
“Mana gadis itu!”
“Rayun? Hahaha…cari sendiri dong!”
“Setan alas! Mati kowe Aryo, mati kowe!”
Pamugaran merapatkan gigi, jemarinya tegang menarik pelatuk, namun dengan sigap, entah bagaimana caranya, tiba-tiba Aryo melompat, menarik tangan Pamugaran ke atas. Pistol meledak, sekali, dua kali,…tiga kali,….semuanya melenceng tak tentu arah. Sebuah jeritan kecil membuat Aryo tercekat. Namun pergumulannya dengan Pamugaran belum selesai. Lelaki keturunan Cina Bali dan Itali itu ternyata terlalu tangguh untuk dikalahkan dalam satu gebrakan. Tubuh keduanya bergulingan, nyaris jatuh ke ceruk penuh semak di lereng bukit. Dan….seperti apa yang dikuatirkan Om Harso, seekor ular putih keluar dari persembunyiannya. Bergerak cepat di antara semak, dan seakan terbang ke arah leher Pamugaran.
Pamugaran menjerit keras, setengah kesakitan setengah kengerian. Ular itu sudah menancapkan bisanya ke urat nadi di leher Pamugaran. Kini lelaki itu menggelepar sendirian, menuju jurang, menggelinding bersama si ular putih. Teriakannya menggema panjang, membuat bulu kuduk Aryo merinding. Beberapa saat, Aryo bagai terkesima. Nafasnya tersengal, lututnya gemetar. Membayangkan perasaan Pamugaran pada saat menyadari lehernya dibelit ular, sementara taring hewan itu sudah meancap ke urat nadi dengan kuat.
Astaghfirullahaladzim….
Ular itu…!
Aryo Wangking yakin, bukan ular biasa. Dirinya sangat yakin, bahwa ular itu adalah ular jelmaan. Kali ini Naga Tatmala telah mempertontonkan kekuatannya. Dia sudah bisa menjelma apa saja, menjelma menjadi seekor naga besar, maupun menjadi seekor ular sebesar kelingking. Bukan hanya di alam ghaib, namun sudah berhasil ‘mengejawantah’ di alam nyata. Allahu Akbar. Semua itu terjadi adalah karena atas ijin dan kekuasaan Tuhan.
Tiba-tiba saja dia teringat akan suara jeritan di tengah pergumulannya dengan Pamugara tadi. Jeritan kecil… !! Suara jeritan siapa?
Ya Allah. Rayun! Dimana gadis itu? Rayun,…Rayuuuun….
Bagaikan kesetanan, Aryo berlari mengitari bukit. Dan …disitulah, di bawah sebatang pohon karet tua yang telah kropos, gadis itu terbaring dalam lumuran darah di dada kanannya!.
Aryo memeluknya, mendekapkan kepala cantik itu ke dadanya. Lelaki tinggi tegap dan brewokan itu kini terisak, sama seperti saat dia menerima penyerahan ruh Rayun di Pantai Selatan dulu.
Rayuuuun,…ratapnya. Kenapa juga semua kejadian beratus tahun itu kembali datang sama persis seperti ini? Jangan pergi Rayun, jangan. Sungguh aku tidak ikhlas, aku tidak terima atas takdir yang dijatuhkan Tuhan kepada kita, sungguh….!
“Nakmas….”
Sebuah teguran yang disertai tepukan di pundak, membuat Aryo menoleh. Dilihatnya Om Harso dan Supeno menatap tertegun ke arah Rayun.
“Ada apa ini,….ada apa?” tanya Om Harso.
Aryo tak mampu menjawab. Bibirnya kelu, lidahnya kaku. Gemetar menahan isak. Dia hanya mampu menunjukkan keadaan Rayun kepada lelaki tua berkacamata itu. Om Harso memeriksa denyut nadi di leher, hal yang samasekali tidak dilakukan Aryo sejak tadi.
“Dia masih hidup. Walau denyutnya sangat lemah,” kata Om Harso. “Ayo segera kita bawa ke puskesmas setempat sebagai pertolongan pertama. Sesudah itu kita bawa ke rumah sakit di kota.”
Aryo tengadah, menatap langit yang mulai rembang. Ya Allah,…bisiknya. Terimakasih. Dikecupnya kening Rayun sepenuh cinta. Tak ada lagi kelegaan serupa saat itu dirasakan Aryo selama hidupnya. Semoga Engkau menyelamatkan nyawanya, ya Robb!
(Masih nyambung ke episode 31 berikutnya.)
*Catatan : novel ini pernah dimuat di majalah Fakta, dg nama Indrawati Poerbosisworo. Dengan perbaikan di sana sini. Terimakasih.

* palakrama : menikah
* mengejawantah : menampakkan diri di bumi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar