Sabtu, 14 Agustus 2010
TROWULAN (28)
HATI YANG TERLUKA.
PERKEBUNAN KARET, CURAHMAS.
Rayun Wulan duduk sendirian di ruang makan, mencoba menikmati sepiring nasi goreng dan segelas sari jeruk. Dia makan pelan-pelan, seakan sambil melamunkan sesuatu. Kendati pagi ini ingin segera bekuda, namun rasanya tak perlu tergesa-gesa. Beberapa kali matanya mengerjap. Aneh, nasi goreng bikinan mbok Yem biasanya cukup enak. Kenapa hari ini seperti menelan beling saja rasanya? Untuk yang ke sekian kali, Rayun menenggak sari jeruk sekadar mendorong gumpalan nasi yang menyesak di tenggorokan.
“Enak sarapannya?”
Tiba-tiba Om Harso, adik mamanya, muncul dari kamar. Wajah Om Harso nampak segar dan senyum lebarnya seakan air sejuk pegunungan yang menyiram benaknya.
Rayun mengangguk-angguk, sekedar menyenangkan hati Om Harso.
“Enak,” sahutnya pendek.
“Bikinan mbok Yem, pastilah mak nyus…hehehe…”
“Mbok Yem awet juga ya, ikut sama Om?’
“Yah,…orangtua itu sudah tidak punya siapa-siapa lagi.”
Om Harso menarik kursi lalu duduk di depannya. Membuka piring yang sejak tadi tengkurap, lalu menyendok nasi.
“Kau sedang ingin kemana, pagi ini, Rayun?”
“Saya? Mmmm….mungkin berkuda saja Om.”
“Ingat, jangan dekati gua macan di bukit kecil sebelah Selatan itu.”
“Kenapa? Bukankah sejak kecil dulu saya sering main kesana, Om?”
“Lain dulu, lain sekarang.”
“Iya, tapi kenapa dong.”
Om Harso menyuapkan nasi ke mulut, menelannya sejenak, baru menyahut,
“Bukit di sana itu sekarang sudah tidak berproduksi lagi. Pohon-pohonnya sudah tua dan tidak lagi menghasilkan getah. Jadi sepi sekali sekarang di sana itu. Om hanya kuatir, ada orang iseng mengganggumu di gua itu.”
Rayun tersenyum sambil mengelap bibir dengan tissue.
“Masa ada penjahat di daerah ini, Om? Sepertinya penduduk atau penderes getah karet itu selalu berseliweran saja di bukit-bukit, bahkan mereka sudah sejak lama mengenal saya, kan?”
“Sudah kukatakan, lain dulu lain sekarang.” Si Om bersikeras. Sepasang matanya menjeling dari balik kacamata yang dikenakannya.
“Omong-omong, aku ingin tau mengapa mendadak saja kau datang dan tetirah di tempat sepi ini?” lanjut Om Harso sambil meneruskan sarapannya.
“Saya kangen Om.”
“Kangen kepadaku?” Om Harso tertawa lebar. “Masa?”
“Iya, sumpah! Saya juga kangen dengan masa kecil saya disini bersama Putri dan Rudy, putra-putra Om.”
“Dulu kalian sering berpacu, berlarian layaknya sekumpulan ‘laron’.”
Rayun tertawa kecil. Kedua matanya merawang. Diam-diam Om Harso menatapnya, tak pelak lagi, dia melihat ada segurat kesedihan dalam mata nan cantik di depannya.
Om Harso meletakkan sendok dan garpu di piring yang telah kosong, mengelap bibir sejenak, kemudian berkata seolah mengingatkan.
“Dengan hari ini, kau sudah seminggu berada disini.”
“Mmmm….saya bahkan ingin sebulan disini. Boleh, kan?”
“Boleh boleh saja, asalkan kau mau berterus terang dan berkata jujur padaku. Mamamu mengatakan bahwa ada satu masalah antara kau dan pacarmu. Pemuda itu semalam datang ke rumahmu, menemui orangtuamu, bahkan dia sudah menghubungi sahabatmu pula. Apa betul, kau sedang melarikan diri?”
Rayun tergelak.
“Melarikan diri dari siapa? Hahaha….memang saya seorang buronan?” Rayun menjeling dalam tawa yang terdengar sumbang di telinga Om Harso.
“Sebenarnya ada apa antara kau dan pacarmu itu?” tanya Om Harso telak.
Rayun ragu sejenak.
“Maksud Om,…antara saya dan… Aryo?”
Om Harso tersenyum.
“Jadi nama dia, …Aryo…?”
Rayun meremas serbet seakan sedang meredakan amarah.
“Kenapa tak kau ajak dia ke sini?”
“Mengajaknya? Ow…nggak deh!”
“Mengapa?”
“It’s all over now.”
Om Harso terbatuk.
“Secepat itukah?”
Rayun memainkan garpu dengan kedua tangannya.
“Yap!” sahutnya pendek dan mantap.
“Masalah cemburu?” Om Harso menebak. Telak menonjok ulu hati Rayun.
“Yaa…semacam itulah, Om. Dulu kami bertemu di pantai Puger. Dia menyelamatkan saya. Saya akui, saya sangat tertarik kepadanya. Mabuk kepayang, malah. Kata orang-orang, dia semacam titisan raja pertama Majapahit. Tapi bukan itu yang membuat saya jatuh cinta kepadanya. Menurut saya, dulu… dia adalah seorang pria yang amat menarik. Tapi akhirnya, saya jadi kecewa.”
“Apa yang membuat kau kecewa terhadapnya?”
“Ternyata dia tak seindah bayangan saya, Om.”
Om Harso menyungging seulas senyum arif.
“Apa, yang kau bayangkan tentang dia?” tanyanya.
“Semula saya membayangkan dia adalah seorang pria yang lain dengan pria-pria pada umumnya.”
“Jangan lupa, Om juga seorang pria.”
Rayun tertawa mendengar canda Om Harso.
“Teruskan, Yun.”
“Saya menganggap dia adalah seorang lelaki yang hanya punya satu cinta: ‘saya’. Sebab pada setiap ucapan dan bahasa tubuhnya yang saya dengar dan saya lihat, adalah semacam gambaran tentang cinta dan kesetiaan yang unik. Yang cuma dimiliki para kesatria jaman dulu kepada kekasihnya. Seolah dialah sang Romeo dan sayalah Yulietnya. Sungguh, sangat menyanjung. Dan saya, demi Allah, jadi tersanjung. Merasa bahwa diri saya adalah perempuan paling beruntung dan paling berharga di dunia ini mengingat begitu banyak wanita dikecewakan oleh cinta gombal lelaki. Saya merasa tak lagi menginjak bumi pada setiap pertemuan saya dengannya, tapi…nyatanya….”
Om Harso melipat tangan di atas meja makan, menatapnya tajam, lurus ke manik mata yang mulai berselimut cairan bening di depannya.
“Nyatanya….apa?”
“Ada perempuan lain yang mengaku dihamili olehnya.”
“Masya Allah!”
Kini Om Harso melihat cairan bening itu runtuh, bergulir di pipi gadis yang tengah berusaha menghapusnya dengan tangan gemetaran.
“Barangkali itu cuma fitnah,” kata Om Harso.
“Fitnah atau bukan, saya sudah terlanjur terluka mendengarnya, Om. Yang saya rasakan saat perempuan itu mengaku bahwa dia hamil, adalah seperti sebuah sambaran petir di siang bolong. Saya betul-betul merasa ditonjok, dilukai, ditipu, sekaligus dipermainkan. Lantas saja saya berpikir, kalau orang seperti dia berkelakuan semacam itu, apa bedanya dengan lelaki lain?”
“Mmmm…maksudmu,…dengan Pamugaran, begitu?”
“Om sudah mendengar juga tentang dia?”
“Ya pasti dong. Memang kaupikir aku siapa? Aku ini paman kesayanganmu. Pastilah berita itu sampai juga ke telingaku, nduk!”
“Yah, begitulah. Ternyata dia itu sama saja bajingannya dengan Pamugaran. Mempermainkan perempuan lalu meninggalkannya kala sudah bosan. Jangan-jangan kepiwaiannya di dunia mistik seperti yang selama ini saya dengar, malah disalahgunakan untuk hal-hal yang menguntungkan dirinya saja. Saya jadi nggak ngerti apa seperti itu, laki-laki di dunia ini, Om?”
“Tenang, tenang. Jangan emosi begitu dong. Pemikiranmu yang seperti itu sungguh keliru. Tidak semua laki-laki seperti itu, Yun.”
“Maaf, Om. Saya tidak men-judge semuanya seperti itu. Om laki-laki, papa juga laki-laki. Semuanya terlihat baik-baik saja. Memang begitu ya, Om?”
“Kamu betul.”
“Saya mendengar, Aryo itu masih keturunan Nambi….”
“Nambi sang senapati pamungkas di jaman Majapahit? Kok bisa? Dan kamu percaya?”
“Semula saya percaya bahwa dia itu titisan Nambi. Sayapun semula melihat memang dia sangat berkualitas di bidangnya. Terlihat lebih unggul dibanding manusia lain. Tapi demi Allah, saya tidak mengkultuskan dia seperti kebanyakan orang, saya hanya melihat bahwa dia memang mempunyai kelebihan baik dalam cara bersosialisasi maupun dalam keahliannya menembus waktu. Kalaupun saya pernah mencintainya, itu karena saya mencintainya, karena dirinya, bukan karena pengkultusan. Saya kecewa tatkala mengetahui bahwa dia tak lebih baik dari manusia lain di daerahnya.”
“Kita tidak pernah diijinkan mengkultuskan orang lain. Itu syirik namanya. Sebab kelebihan itu hanya ada pada Tuhan, bukan pada manusia seperti kita, kecuali Nabi-Nabi. Dia adalah manusia biasa yang darahnya masih tetap merah, dan kekhilafan masih tetap saja bisa menimpanya.”
“Yang jelas, saya tak bisa menerima semuanya ini. Seharusnya sejak awal dia berterusterang pada saya bahwa dia pernah…pernah…”
Tangis Rayun pecah.
“Bayangkan, Om. Dia memacari saya bahkan hampir saja bertunangan, sementara di sisi lain ada perempuan yang menderita karena kehamilan akibat dirinya. Sungguh, saya tidak terima. Bagi saya kesetiaan itu adalah mutlak….” Lanjut Rayun dengan suara tercekik.
“Tak ada yang mutlak di dunia ini, nduk!”
“Kejujuran…itu yang saya inginkan dalam sebuah hubungan. Kesetiaan dan kejujuran! Masa tidak bisa? Sakit hati saya, Om. Janji-janjinya pada saya ternyata palsu!”
“Setiap orang bisa saja berbuat salah.”
“Ya, tapi saya tidak pernah sedahsyat itu berbuat kesalahan. Belum lagi dia mengucapkan sumpah setia pada saya, tau-tau…”
“Yun…sabar nak…”
“Cinta saya kepadanya habis seketika. Saya rasakan harga diri saya terinjak lumat. Kepedihan saya luar biasa. Seperti butir-butir gandum yang ditumbuk sampai polos telanjang, diketam digosok, diremas, kemudian dimasukkan kedalam api!”
“Begitulah pekerti cinta atas diri manusia. Itu supaya kamu bisa memahami tentang rahasia hati. Kesadaran itu akan menjadikanmu kian dewasa.”
“Bodoh sekali saya!”
“Sudahlah, jangan diteruskan lagi kemarahanmu itu. Ingatlah, bahwa diri kita ini juga tak pernah luput dari kesalahan. Kita ini ibaratnya sedang berbicara tentang orang yang - menurut kita – bersalah. Seolah dia bukanlah orang yang kita kenal, tetapi orang asing. Seseorang yang hadir di dunia kita bagai duri yang mengganggu. Ingatlah juga kata-kata ini, bahwa orang bijaksana dan paling keramatpun tak akan lebih unggul dari sebuah percikan api tertinggi yang bersemayam dan tersembunyi dalam setiap pribadi. Maka ketahuilah bahwa yang jahat dan paling lemah wataknyapun jadi tak lebih hina dari unsur terendah manusia yang bersarang dalam diri manusia.”
Ditatapnya wajah Rayun yang penuh airmata. Ingin sekali dipeluknya seperti dulu semasa gadis itu masih kecil. Ingin dihiburnya dengan segenggam gula-gula kesukaannya seperti masa Rayun masih berumur sepuluh tahun. Tapi Om Harso tak ingin keponakan kesayangannya itu jadi cengeng. Dia tau, kedua orangtua Rayun selalu mengajarkan hal-hal yang riil. Maka tak heran bila gadis itu jadi tumbuh dengan sikapnya yang sangat realistis ketika harus menatap langit.
“Sebaiknya kita mengambil hikmah dari semua ini,” kata Om Harso. “Jangan terlalu dipikirkan. Masa depan bagimu masih panjang dan cemerlang. Terjunkan saja dirimu dalam kesibukan kepenulisanmu itu. Walaupun itu Cuma sekadar hobi, tapi bisa saja menunjang kehidupanmu di kelak kemudian hari. Bisa jadi akan menjadi karis utamamu, dan aku yakin kau bakal sukses di dunia tulis menulismu itu.”
“Ya Om.”
“Bagus.”
Om Harso melempar senyum tipis, dan Rayun membalasnya walau masih dengan linangan airmata sakit hatinya.
“Oke, Om berangkat ke pabrik dulu ya?”
“Ya Om.”
“Ingat, kalau berkuda jangan jauh-jauh. Di bagian bukit Macan itu, sekarang sepi. Aku tak ingin terjadi apa-apa atas dirimu. Kudamu, si Kacung, sudah menunggu di halaman belakang.”
Rayun berdiri, memeluk Om Harso dan mengucapkan terimakasih.
(Kudanya lari ke episode berikut. Sabar yaaaa..)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar