Sabtu, 14 Agustus 2010

TROWULAN (27)


DYAH SUGIHAN.
Pagi-pagi sekali Aryo mencoba menghubungi salah seorang sahabat Rayun, Dyah Sugihan. Sejak kejadian di museum itu, Rayun tiba-tiba menghilang begitu saja tanpa meninggalkan pesan apa-apa. Saat dicari ke rumahnya, orang-orang yang ada di rumah itu mengatakan mereka sama tidak taunya dengan Aryo Wangking. Bahkan Rayun tidak pamit, tidak minta ijin pada kedua orangtuanya atau mengatakan kemana dia pergi. Bahkan saat dihubungi lewat telepon selulernya, hape Rayun selalu off line.
Di rumahnya, saat ditemui Aryo Wangking, Dyah Sugihan terlihat kaget.
“Aneh,” katanya sambil mengerutkan kening. “Tidak biasanya Rayun seperti ini. Menurutku, dia sedang marah. Kenapa ya, dia menghilang begitu saja? Kau tau apa yang membuatnya pergi seperti itu? Atau…kalian sedang bertengkar, barangkali?”
Lama Aryo terdiam.
“Aryo…? Apa kalian sedang bertengkar?” Dyah Sugihan mengulang pertanyaannya.
Sesaat Aryo menyulut rokok. Setelah menghembuskan asap ke udara, barulah dia menjawab perlahan,
“Kami tidak bertengkar. Cuma…”
“Cuma…. Apa?”
“Panjang ceritanya, Dyah.”
“Ceritakan saja padaku. Toh kau sudah berada disini.”
“Ada seorang temanku, arkeolog juga, yang menuduh aku telah menghamili seorang gadis di kantor.”
“Astaghfirullah…” Dyah Sugihan membelalakkan mata sambil mendekap dada.
“Tolong, jangan pandang aku seperti itu.”
“Bagaimana sampai ada tuduhan semacam itu? Pasti ada alasannya. Kurasa tidak ada asap tanpa api!”
“Ya, ya. Aku mengakui dengan jujur bahwa gadis itu dulu memang kekasihku.”
“Tuh, kan!”
“Itu dulu, Dyah. Sebelum aku mengenal Rayun.”
“Katakan dengan jujur, Aryo, apa kau pernah tidur dengannya?”
Leher Aryo bagai dicekik.
“Dulu. Ya.”
“Nah kan! Keterlaluan kamu Aryo. Sungguh mati aku tiddak pernah menyangka, membayangkan saja tidak, bahwa kau…kau sebrengsek itu. Bayangin saja, kalau gadis itu benar-benar hamil…bayangin Aryo!”
“Ssst…” Aryo menahan suaranya. Menurunkan tangan sebagai isyarat agar Dyah lebih menurunkan suaranya satu oktaf.
“Jadi pantas saja kalau dia marah. Pantas kalau dia nanti tidak mau lagi menemuimu. Coba, seandaianya saja aku tau pacarku pernah tidur dengan orang lain…uuuuh….Mungkin aku langsung memutuskan hubungan. No way!”
“Dyah…Dyah…Tolong jangan membuatku semakin tertekan.”
“Tertekan katamu? Hoho…seorang Aryo Wangking tertekan? Nonsens!”
“Aku mencintainya. Sungguh!”
“Oh ya?”
“Aku begitu takut kehilangan dia.”
“…………..”
“Tolong, kasih tau aku kemana kira-kira dia pergi…”
Dyah menatap tajam wajah brewok di depannya. Kemana kegagahan kamu itu Aryo? Saat ini dirimu seperti wayang kehilangan gapit. Lemas, lunglai, pucat…
“Maaf, aku tidak tau.”
“Dyah…”
“Aku tidak tau.”
“Aku yakin kau tau. Dalam penglihatanku, dia pergi ke arah Timur. Tapi tepatnya,…kau pasti tau. Kalian berteman sudah lama. Pasti kau tau.”
Lama Dyah terdiam sambil melipat tangan ke dada. Ada perasaan marah kepada Aryo Wangking. Namun ada juga rasa belas kasihan kepada lelaki yang duduk dengan wajah lelah di depannya, menunggu jawaban dengan wajah harap-harap cemas.
“Kalau gadis itu benar-benar hamil, bagaimana?” cetus Dyah tajam.
“Dia hamil karena orang lain, bukan karena aku.”
“Kau yakin?”
“Masya Allah, Dyah! Aku punya kacamata rangkap. Mana bisa keliru?”
“Kau bukan Tuhan, Aryo! Ingat itu. Jangan sombong karena kelebihanmu itu.”
“Oh ya, maaf. Mungkin dimatamu aku terlihat sombong, jubriyo, atau sok! Tapi kalau kukatakan aku bisa melihat yang orang lain tidak bisa melihat, dan itu adalah kelebihan yang diberikan Tuhan kepadaku, apa aku salah? Aku tau, Rayun tengah terbakar rasa cemburu, dan aku tau, barangkali kesempatanku untuk memilikinya tinggal limapuluh persen, namun ada hal yang ingin kubuktikan kepadanya …”
“Apa? Apa yang akan coba kau buktikan?” potong Dyah keras.
“Aku ingin buktikan bahwa aku benar.”
“Benar? Benar dalam hal apa?”
“Bahwa aku benar-benar tidak menghamili gadis itu.”
“Bagimana caranya?”
“Itu urusan nanti. Sudahlah, tolong katakan saja kemana dia pergi.”
“Baiklah. Aku Cuma ingin tau kapan kau bisa membuktikan bahwa gadis itu tidak mengandung anakmu.”
“Nanti kau akan tau. Aku janji.”
“Oke, kupegang kata-katamu! Menurut ingatanku, Rayun punya seorang paman di luar kota.”
“Dimana?”
“Jember.”
“Jadi benar, dia berada di arah Timur Surabaya.”
“Ya.”
Aryo mengatupkan kedua mata. Mencoba melihat dengan kemampuan spiritualnya, lalu mulai menebak.
“Di sebuah rumah, di daerah pegunungan,…ada hutan…hutan karet…!” ujarnya sambil tetap memejam.
Dyah mengangguk.
“Ya, sebuah perkebunan karet, perusahaan swasta, bukan PTP.”
Aryo membuka mata dan tersenyum.
“Kenapa tidak sejak tadi saja kau katakan itu,” katanya.
“Maumu! Sudah sana, kau pasti bisa menemukannya.”
“Tunggu. Tepatnya dimana?”
“Di sebuah daerah perkebunan, namanya Curahmas.”
Aryo kembali mengembangkan senyum, mematikan rokok ke dalam asbak, berdiri sambil menepiskan belakang celana jins, memakai topi koboinya, kemudian mengambil anak kunci motor yang berhasil dipinjamnya dari Darji.
“Aku ke sana sekarang.”
“Sekarang? Naik apa?”
“Tuh, dapet pinjeman motor.”
“Astaga. Jadi kau mau naik motor ke perkebunan itu?”
Aryo hanya tertawa melihat Dyah tercengang.
“Itu perjalanan yang cukup jauh, Aryo.”
“Aku tau. Memang, kenapa?”
Dyah Sugihan bersidekap, menyaksikan Aryo mengenakan helm dan jaket kulitnya, kemudian menstarter motor.
“Hati-hati di jalan, Aryo.” pesannya.
“Yap!”
Motor yang dikendarai Aryo melaju cepat keluar halaman, menghilang di balik tikungan. Dyah terpaku di beranda rumah dengan perasaan galau. Entah, yang dirasakannya hanyalah semacam kesedihan. Kesedihan yang mungkin saja ada dalam relung hati Aryo Wangking. Atau boleh jadi semacam kesedihan yang tengah dirasakan juga oleh Rayun. Ingin rasanya dia ikut ke perkebunan di Curahmas, menemui Rayun dan ikut membujuknya untuk tidak memutuskan hubungannya dengan Aryo. Sungguh, dia tak ingin melihat Aryo kehilangan Rayun!

MUSEUM.
Pagi itu memang terlihat kesibukan yang lebih ketimbang biasanya. Sebab ada beberapa patung lagi yang berhasil ditemukan setelah benda-benda antik itu sempat menghilang karena penjarahan tatkala terjadi reformasi beberapa tahun yang lalu di Jakarta yang merembet sampai ke Jawa Timur.
Ada patung emas Pradnya Paramita yang dikembalikan dari Jerman. Kali ini beberapa patung berharga lain ditemukan di negeri Belanda. Entah bagaimana caranya benda-benda itu bisa sampai ke negeri salju itu. Yang jelas, benda-benda bersejarah itu kini telah kembali.
Di tengah kesibukan itu, mendadak sebuah sedan merah masuk ke halaman musem. Jelas, pengendaranya adalah Dewa Pamugaran. Dia datang bukan untuk benda-benda kuno itu, melainkan karena ingin bertemu dengan Niken Pratiwi.
Saat dia menapakkan kaki ke lantai museum, dia melihat begitu banyak orang. Ada beberapa karyawan, ada arkeolog-arkeolog senior maupun yunior, dan beberapa mahasiswa dari Fakultas Ilmu Sosial jurusan Antropologi, ikut menyaksikan kedatangan benda-benda bersejarah itu dari luar negeri. Saat itu rupanya waktu yang tepat bagi Pamugaran untuk menyelinap masuk. Orang-orang yang berseliweran disitu bahkan akan menyamarkan kedatangannya.
Sejak kegagalan Raki Keleng tempo hari dalam usahanya meledakkan Aryo Wangking, Pamugaran memang sengaja tidak keluar dari sarangnya. Dia mengurung diri dalam apartemen, melakukan beberapa kegiatan spiritual, minta dukungan kepada arwah leluhur , dan melakukan ritual untuk sang gaib yang dipujanya selama ini, guna menghancurkan Aryo Wangking sang pesaing. Ambisi, ego, dan arogansi membutakan matanya. Dengan cara apapun, dia akan melakukannya asalkan Aryo Wangking bisa musnah dari muka bumi. Dalam apartemennya, dia melakukan sebuah ritual khas leluhur, yakni membuat semacam lingkaran pada permukaan ubin di ruang tengah. Lingkaran itu dibuatnya dari tepung, dengan diameter tujuh meter. Lalu dengan bantuan kompas, dia menentukan arah Utara. Diletakkannya sebatang lilin di situ, dan menyalakannya.. Kemudian menyusul arah mata angin lainnya. Lalu dia duduk di tengah lingkaran, menghadap ke arah Utara.Dari upacara ritual itulah dia kemudian mendapat petunjuk gaib yang membawanya datang ke museum, bertepatan dengan ditemukannya kembali patung dan benda kuno yang pernah dijarah orang.
Kini dia telah berada di dalam musem, di tengah orang-orang. Sepasang matanya mencari-cari, dimana Niken? Secara sembunyi-sembunyi dia terus masuk, menelusuri setiap ruang. Nah itu dia, pikirnya girang.
Dekat toilet, dia melihat Niken sedang berbincang dengan beberapa orang yang tak dikenalnya. Aryo wangking sendiri tidak terlihat disitu, apalagi Raki Keleng. Doanya terkabul, untuk tidak perlu bertemu dengan Aryo Wangking. Pamugaran mendekati Niken, mengendap, perlahan, bagaikan kucing.
Riiiinnngggg…..!
Telepon kuno di atas meja dekat Niken berdering.
Dengan sigap Niken mengangkatnya. Pamugaran memasang telinga lebar-lebar. Menurut firasatnya, telepon itu dari Aryo.
“Hallo, selamat pagi!” suara Niken.
“………”
“OH, kau Aryo! Posisimu dimana sekarang? Apa? Jember? Edan kau ini. Ngapain disitu? Tau, nggak, ribut sekali disini. Patung-patung dari Nederland itu sudah datang. Mestinya kau ada disini menyaksikan mereka membuka peti-peti itu. Bolos lagi, ya? Enak bener.”
“……..”
“Baik, baik! You are still the boss. Polisi memang sering menanyakanmu, jadi apa harus kujawab?”
“…….”
“Alamatmu? Oke.”
Niken mencabut sebuah bolpoin dari dalam saku bajunya, mengambil sebuah blocknote, lalu menuliskan sesuatu di sana. Merobek kertas paling atas, dan menyimpannya di saku bersama dengan bolpoin sekalian, kemudian kembali sibuk.
Pamugaran mendekati meja, mengambil blocknote. Dengan sebuah pinsil, dia mengarsir bekas tulisan yang tembus ke atas kertas di bawah kertas yang di robek Niken tadi. Pamugaran membuat arsiran yang amat halus dengan cara menggeser-geserkan ujung pinsil secara miring di atasnya. Perlahan-lahan timbul tulisan yang kini bisa dibaca. Sebuah alamat, sepertinya nama sebuah perkebunan karet di sebuah daerah pedalaman tak jauh dari pusat kota Jember.
Pamugaran menyeringai, lalu merobek kertas itu. Matanya menyipit. Lebih kejam dari biasanya. Dia yakin,kali ini tak mau lagi ada kegagalan. Harus bisa, ya…dia harus berhasil melenyapkan Aryo Wangking, lelaki kurangajar yang menghancurkan karirnya sebagai pelukis tenar. Dengan langkah lebar dia keluar, menuju kendaraan mewah di areal parkir. Tak lama kemudian mobil berwarna merah menyala itupun meluncur pergi, melaju dengan kencang ke jalan raya.
(lukanya hati ada di episode berikutnya).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar