Jumat, 30 Juli 2010
TROWULAN (26)
PENCETUSAN SEBUAH DOSA.
Tapi sebuah tangan kokoh mendadak menahannya. Memegangnya kuat hingga membuat Raki Keleng menoleh dengan sangat marah. Sepasang matanya bersitatap amat getas dengan sepasang mata milik Aryo Wangking.
“Apa yang sedang kamu lakukan, Raki?” ujar Aryo Wangking dingin.
“Sialan kau Aryo! Kenapa sih, selalu mencampuri urusanku?”
“Sebenarnya aku tak ingin, kalau urusanmu benar. Tapi kalau tindakanmu tidak benar, masa iya aku harus mendiamkanmu saja? Sekarang katakan, kenapa kau ingin menamparnya? Apa kau pikir, dengan memukuli seorang perempuan kau bakal menang dengan gagah, begitu? Tentu saja dia tidak bisa menandingi kekuatanmu. Sebaiknya kalau kau mau berkelahi, cari lawan yang seimbang dong!”
Raki Keleng mengatupkan geraham dengan geram.
“Dengar, Brewok! Apa kau tau dia sedang hamil, ha? Dia itu sedang mengandung janin di perutnya, tau! Sebentar lagi perut itu akan menggembung. Lantas aku ingin bertanya padamu, siapa ayahnya? Kau tau siapa ayahnya, Brewok?”
Aryo Wangking merasakan darahnya tersirap. Di sampingnya, Rayun Wulan berdiri dengan kening berkerut. Pembicaraan sekasar itu tak pernah ditemuinya seumur hidupnya. Komunitas yang dimiliki Aryo seakan-akan begitu asing baginya.
Aryo sudah tau kemana arah pertanyaan Raki Keleng. Maka dia tak ingin menanggapi. Diseretnya Rayun menuju pintu keluar. Namun dengan wajah beringas, Raki menghadang jalannya.
“Jawab dulu pertanyaanku,” ujarnya tandas. “Kau tau siapa ayahnya?”
“Siapa? Kau tentu lebih tau, Raki!”
“Ya!” Raki mengangguk angguk dengan bibir tersenyum miring. “Aku!”
Aryo menghela napas dalam. Diulurkannya tangan dan diterima Raki keleng dengan sinis.
“Selamat,” ujar Aryo pendek.
“Sama-sama,” jawab Raki sama pendek.
“Bohong!” tiba-tiba Niken berdiri dan berteriak.
“Aku tidak merasa kau ayahnya,” lanjutnya dengan wajah pias dan mata sembab. “Aku tidak mau! Tidak!”
“Niken, apa ….maksud…kamu…?” Aryo mendadak merasa dadanya berdebar. Dia merasakan ada sesuatu yang bakal dikatakan Niken, yang akan membuat hubungannya dengan Rayun memburuk, firasatnya mengatakan….
Namun sebelum Aryo mencegah, tiba-tiba Niken sudah berkata lantang sambil menudingkan jari ke muka Raki Keleng.
“Orang macam kamu mana bisa bertanggungjawab atas semua ini? Mana bisa menghidupinya? Orang kamu tidak punya masa depan, tidak punya penghasilan, pekerjaanmu berjudi melulu, kesana kesini tanpa tujuan seperti daun kering. Jadi untuk apa kamu berlagak pahlawan mengakuinya kalau sesungguhnya bukan kamu pelakunya? Kau tak punya hak…”
Lalu…bla…bla…bla…segala kata-kata pedas dilontarkan Niken kepada Raki Keleng. Semuanya itu membuat lelaki itu jadi naik pitam. Harga diri di injak-injak sampai lumat. Maka tanpa dapat dicegah, tangan kanannya terayun kuat. Dan….
Plaaaak!!
Sebuah tamparan keras mendarat di wajah Niken. Semua itu begitu tiba-tiba, dan sangat mengejutkan bagi Aryo Wangking dan Rayun Wulan. Dengan hati tercekat mereka menyaksikan betapa wajah Niken jadi berbarut bekas telapak tangan Raki Keleng.
Niken terhuyung sejenak. Namun sebentar kemudian dia erdiri tegak dengan mata merah membelalak kea rah Raki Keleng.
“Kurang ajar!” teriaknya.
Matanya tersaput cairan bening, bergumpal-gumpal, lalu turun deras ke pipi. Menggelinding jatuh ke lantai. Bibirnya gemetar merasakan sakitnya, bukan hanya di pipi namun juga tembus ke dalam hati. Jauh di dasar hati yang paling dalam, Niken merasakan dirinya mati. Kosong. Hampa, saat sekilas menyaksikan Rayun memeluk lengan Aryo dengan ketakutan. Kecemburuan membuncah, membakar sekujur tubuhnya. Menyengat panas, menusuk getas.
Kini dia jadi terguguk. Menangis tersedu-sedu hingga sesak napas.
“Aku benci kamu, Raki. Sampai matipun aku tak sudi membiarkan diriku jadi istri kamu. Aku benci kamu!”
Raki Keleng berkacak pinggang, menatap lurus wajah Niken bagaikan Burisrawa. Marah, uring-uringan, kesal, dan kecewa menjadi satu dalam jilatan sorot mata Raki keleng.
“Baik,” katanya. “Kalau bukan aku, lantas siapa? Dia? Ya, pasti yang kau maksud adalah dia, kan? Sama saja! Aku atau dia! Sama! Hahaha…Aryo, kita patungan saja menghidupinya, hahahaha….”
Niken jadi makin gelap mata. Dia menjerit-jerit, memaki-maki, berteriak dengan histeris. Dia membalas ejekan Raki Keleng dengan cara mencakarinya, memukulinya dengan membabi buta. Gila, pikir Aryo kebingungan. Ada apa ini? Terus bagaimana melerainya, sementara disisinya ada Rayun Wulan yang gemetar menahan ketakutan?
Beberapa karyawan masuk.
Mereka memandang dengan keheranan semua peristiwa itu. Bahkan ada yang tiba-tiba nyeletuk,
“Barangkali benar,” katanya. “Dengan ditemukannya kembali patung emas dari Jerman itu mendadak saja museum ini jadi sering mengalami hal-hal yang aneh. Mungkin setan-setan sudah pada bergentayangan disini, ya?”
“Hush!” sahut temannya berbisik. “Tahayul. Semua ini tak luput dari pelakunya, Cak. Peristiwa semacam ini manusiawi sekali. Orang namanya cemburu tak iye!”
Raki keleng menahan cakaran Niken dengan tangannya yang kuat, mendorongnya hingga jatuh ke sofa. Sungguh, Aryo tak tega melihat keadaannya. Dicobanya menyabarkan Raki keleng. Namun lelaki berkulit hitam itu malah menjadi salah paham. Dia mendorong Aryo dengan beringas. Menatap benci ke arahnya.
“Semua ini karena kamu!” katanya.
“Kenapa aku?”
“Kamu yang mempermainkannya. Ngaku sajalah!”
Kini Aryo jadi ikut-ikutan marah.
“Kamu yang selalu bikin onar di sini. Jaga sikap kamu, Raki. Jaga omongan kamu. Sebab disitulah letak harimau kamu!”
“Oya?” ejek Raki keleng. “Lantas, harimau kamu ada dimana? Selalu sok baik, sok suci. Apa kamu lupa, berapa kali aku memergoki kalian berciuman sepenuh gairah di ruang pustaka hah? Berapa kali aku melihat kalian ngobrol berjam-jam di rumah kamu dengan pintu dan jendela yang tertutup rapat hingga subuh? Berapa kali kalian berjam-jam mengurung diri di ruang naskah dengan pintu tertutup? Maka sungguh, aku tak perlu heran kalau dia hamil. Aku sudah mencoba menolongnya dengan memberikan status yang jelas. Sayangnya, dia tetap saja keras kepala memilih kamu. Jadi jelas toh, siapa yang membuntinginya?”
“Itu fitnah!” desis Aryo dengan bibir memucat.
Jadi inilah arti dari firasatnya, pikir Aryo. Inilah saatnya!
“Oho….Jelas kamu nggak mau ngaku, Brewok. Sebab disini sedang ada putri salju yang menjadi saksi pengakuan Niken. Semuanya terkupas disini hingga tandas. Pastilah kamu mau mungkir!”
Tangan Aryo merenggut kerah kemeja Raki dan menengadahkannya ke wajahnya.
“Katakan kalau itu adalah kebohongan terbesarmu!”
Dengan sedikit menyungging senyuman di bibir liciknya, Raki mengangkat kedua tangannya ke atas tanda menyerah.
“Itu semua terserah kamu, Brewok. Ter-se-rah…kamu. Disinilah hati nuranimu diuji. Apa benar, pengkultusan itu pantas untuk dirimu, ataukah kamu akan sama bejatnya denganku yang selalu dipandang sebelah mata oleh orang-orang di Trowulan ini. Menurutku, kau sama saja denganku. Doyan yang itu, huahaha…”
“Kamu memang bedebah. Bangsat!”
Aryo Wangking mengangkat tangannya tinggi, siap membanting lawannya ke lantai. Namun Raki Keleng sudah lebih dulu mendaratkan sebuah tinju telak ke ulu hatinya, membuat Aryo jadi serasa ingin muntah.
Niken menjerit saat melihat mereka jadi baku hantam. Cuma sekejap, dia lantas jatuh pingsan. Beberapa karyawan yang ada di ruangan itu jadi heboh melihat Niken roboh ke lantai. Beramai-ramai mereka menolongnya dengan membaringkannya ke atas sofa.
“Yok! Dia pingsan, Yok!” mereka meneriaki Aryo. “Hentikan perkelahian kalian!”
Aryo melompat kaget, mendekati mereka. Menepuk-nepuk pipi Niken dan memanggil-manggil namanya. Sementara itu, dengan lagak tengil Raki malah tertawa-tawa kecil.
“Itulah namanya orang hamil muda, gampang pingsan,” katanya sampil ngeloyor pergi. “Yuk ah! Aku pergi. Urus saja pasienmu itu, Brewok! Heheheh…..”
Aryo memeluk kepala Niken ke dadanya. Seakan dirinya lupa bahwa masih ada Rayun Wulan disitu, menyaksikan semua kejadian itu tanpa putus. Rayun juga melihat dengan jelas, betapa penuh perhatian Aryo kepada Niken. Kedua matanya tiba-tiba saja merebak, basah, dan mulai berkunang-kunang.
Rayun pernah percaya pada sumpah dan cinta yang diucapkan Aryo Wangking pada setiap pertemuan mereka. Seolah semuanya sudah menjadi sumsum dan darah yang sehari-hari dia kunyah dan mamah. Namun tatkala dia menyaksikan semuanya itu, mendengar semua percakapan dan umpatan yang baru saja diucapkan oleh masing-masing mereka, Rayun mendadak jadi bimbang. Beginikah kehidupan mereka yang sebenarnya? Kehidupan yang sangat kasar, keintiman yang cenderung bebas tanpa batas. Semuanya menjadi rancu bagi Rayun, mana teman, mana kekasih? Mana yang baik, mana yang jahat? Mana yang berbuat dosa, dan mana yang berbohong?
Bagaikan direnggut, dada Rayun Wulan mendadak kosong melompong. Hampa. Sepi. Tak ada apa-apa lagi di sana. Dirinya ingin lari dari semuanya itu. Bebas. Terlepas. Merdeka. Seakan tak ada lagi cinta yang mengakar, tak lagi ada kekaguman yang bersemi. Lingkaran kehidupan seputar Aryo Wangking, Niken Pratiwi, Raki Keleng, dan siapa siapa lagi,…begitu membingungkan bagi Rayun yang terbiasa hidup dalam lingkungan yang teratur, bersikap sopan terhadap siapapun, berkata-kata baik dan terkendali. Ah, dadanya mungkin terlalu kecil, kepalnya mungkin terlalu kecil. Terpaan badai semacam ini begitu saja meruntuhkan bukit yang tengah dibangunnya. Menanggalkan ranting ranting mati dan menghunjamkannya ke akar jantung.
Rayun merasa tak lagi dibutuhkan berdiri di tempat itu. Semuanya bukan suasana kehidupannya. Mereka begitu asing. Mereka juga tak mengenalnya. Mereka tidak tau siapa gadis lampai berwajah pucat , dan mengapa pula dia berada di tempat itu.
Rayun Wulan mundur perlahan. Tanpa suara dia melangkah cepat meninggalkan tempat yang menurutnya sangat aneh dan menyiksa. Dalam sekejap, anak-anak tangga sudah berada di belakangnya. Berlari kecil dia menuju Innova warna perak di areal parkir, lalu melompat kedalamnya. Seakan tengah bermimpi buruk, tangannya memutar kunci kontak, menghidupan mesin, dan meluncur kencang meninggalkan museum yang penuh pepohonan di halamannya, menuju jalan raya.
Aryo tersadar begitu mendengar derum mesin mobil milik Rayun. Dia ingin mengejarnya, tetapi saat itu terdengar Niken merintih perlahan, memangil namanya. Gadis itu sudah sadar dan tengah berusaha untuk duduk.
“Apa aku pingsan?” tanya dia terbata-bata.
“Ya, kamu pingsan. Bagaimana, sekarang?”
Niken mengusap kedua mata dengan telapak tangan, mendesah lirih seakan menanggung beban berat di hati.
“Alhamdulillah, aku sudah merasa enakan. Maafkan aku, sudah membuatmu repot,”
“Ah, tidak apa. Jangan dipikirkan.”
“Boleh minta minum?”
Aryo mengulurkan segelas air mineral.
“Lebih baik kamu pulang saja,” kata Aryo. “Mau kuantar?”
Bibir pucat itu tersenyum, mengangguk.
“Ayolah. Kita naik motor saja. Kamu masih kuat, kan?” kata Aryo sambil membimbingnya keluar.
“Ya, mudah-mudahan.”
Mereka keluar lewat pintu samping, kemudian dengan motor milik Niken, Aryo mengantarkannya pulang. Selama dalam perjalanan, batin Aryo seakan terkoyak-koyak. Matanya menyaksikan Rayun pergi begitu saja tanpa pamit. Pasti dia tak suka melihat dirinya merawat Niken seperti itu. Parsti cemburu. Pasti marah. Marah? Marahkah gadis itu melihatnya memeluk Niken? Bukankah semua itu dilakukannya hanya sekadar sebagai wujud kemanusiaan saja? Tetapi bagaimana kalau Rayun benar-benar marah? Bukankah dia juga mendengar ucapan-ucapan Raki keleng yang disampaikan dengan cara amat vulgar? Bagaimana kalau Rayun memutuskan hubungan mereka?
Aryo menghela napas panjang. Dia tak ingin bermain tebak-tebakan dengan diri sendiri. Dia harus bertanya langsung kepada Niken, benarkah dia hamil, dan siapa pula ayah dari janin yang ada di perutnya itu? Kalau benar, sungguh dunia ini sudah carut marut. Seingatnya sudah sejak enam bulan yang lalu dia tak lagi berkencan dengan Niken. Ya, sejak dia mengenal Rayun dengan dekat. Niken juga dekat dengan Raki Keleng. Bahkan dengan beberapa penghayat di Siti hinggil,…kata orang sih begitu. Lantas apa bedanya antara Niken dan Yu Mirah?
“Stop! Kita sudah sampai.”
Suara Niken memutuskan lamunannya.
“Oh. Sorry, “
Aryo menghentikan laju motor tepat di depan pagar rumah Niken.
“Kurasakan kau ngelamun saja sejak tadi.” tegur Niken dengan suara yang diwarnai perasaan kecut dan cemburu.
“…………”
“Kau melamun tentang Rayun, atau tentang aku?”
Aryo tersenyum tipis. Ditatapnya wajah di depannya. Sejenak dia menghembuskan napas yang menyesak.
“Aku terus saja ya?” ujarnya sambil memasukkan motor ke garasi.
“Bawa saja motor itu, Yok.”
“Tidak ah, terimakasih. Aku jalan saja.”
“Tidak mampir dulu?”
“Terimakasih, aku terus pulang saja. Sebaiknya kamu istirahat dua atau tiga hari di rumah, jangan masuk kantor dulu. Kalau perlu apa-apa, kamu bisa menghubungi aku di rumah kang Empul. Kalau ingin periksa ke dokter, biar kuantar.”
“Terimakasih, kau baik sekali. Sorry atas kejadian tadi.”
“Nggak apa-apa. Yuk. Aku pergi dulu, Ken.”
“Ya, sekali lagi terimakasih.”
Aryo mengangguk.
“Assalamualaikum,” ujarnya bersalam.
“Wa alaikumsalam.”
(Nyambung di episode yang akan datang)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar