Sabtu, 02 Oktober 2010

TROWULAN (32) - TAMAT


Di beranda rumahnya, Niken terisak, didepannya duduk Darji sambil menundukkan kepala. Sungguh, situasi yang sulit bagi Darji, sebab gadis didepannya sejak tadi tak pernah berhenti menangis. Sudah berpuluh lembar kertas tissue dihabiskannya dan kini masih juga airmatanya mengalir deras.
“Sudahlah, Niken. Apa yang kau tangisi?” sesal Darji.
Lagi-lagi Niken sibuk mencabut kertas tissue dari kotaknya, membersit hidung sebentar, kemudian mencoba menatap wajah Darji.
“Aku menyesal, Ji. Sungguh. Kalau saja dia mati saat itu….” sahutnya tersendat.
“Tetapi dia masih hidup.”
“Kalau saja,…bukankah aku yang menanggung dosanya?”
Darji tersenyum.
“Sekarangpun kau sudah memikul dosamu, Nik. Kau sadar dengan siapa kau melakukannya hingga kejadian ini harus ada?”
Niken kembali membuang ingus.
“”Sekarang, katakana padaku dengan sejujur-jujurnya, benarkah kau tengah mengandung?”
“Ap…apa Aryo tidd…tidak bilang apa-apa mengenai diriku, Ji?”
“Maksudmu, apa?”
“Anak dalam perutku ini,…tidakkah dia mengatakannya padamu siapa ayahnya?”
Darji menggeleng pelan.
“Dia tidak ingin mencoreng namamu bahkan denganku sekalipun.”
Niken kembali membersit hidung.
“Katakan padaku, siapa ayahnya?” tanya Darji.
“Banyak.”
Darji tersentak kaget. Untuk beberapa saat pikirannya mendadak buntu. MasyaAllah!
Dilihatnya Niken tersenyum kecut.
“Ya, aku melakukannya dengan banyak orang…” katanya seraya menyibakkan rambut ke belakang.
“Apa katamu?”
“Sejak Aryo menghilang ke Surabaya, aku mendadak jadi menyimpan kebencian yang amat sangat kepadanya. Dendam kesumat yang tak bisa kuucapkan pada siapapun. Rasanya bagai sampah diriku ini, Ji. Sakit sekali….”
“……………”
“Untuk melampiaskan kekesalan itu, aku…”
“Cukup, jangan diteruskan lagi ceritamu itu. Hanya saja aku tidak mengerti mengapa kau membuat semuanya jadi kacau seperti ini. Seolah-olah kau tengah menuntut pertanggungjawaban dari Aryo. Bukankah itu merupakan corengan yang tak termaafkan bagi masyarakat kita di sini terhadap Aryo wangking? Setega itu, kau Niken. Seolah kau ingin mencemarkan namanya. Kau korbankan tahun-tahun persahabatan kalian?”
“Maafkan aku, Ji.”
Darji berdiri dengan kesal.
“Jangan minta maaf padaku, mintalah maaf pada Aryo Wangking, meski menurutku itu belumlah cukup bagimu.”
“Jadi,…apa yang harus kulakukan?”
“Ikhlaskan dia menikahi Rayun Wulan.”
“Tapi aku mencintainya, Darji. Sangat!”
“Kalau benar kau mencintainya, buktikan dengan keikhlasanmu melepaskan dia memilih jalannya sendiri.”
Kembali Niken mengucurkan airmata.
Darji kembali duduk, kali ini dia mengambil tempat di samping Niken. Lengannya memeluk pundak gadis itu dan berbisik pelan di telinganya,:
“Aku mengerti bagaimana perasaanmu saat ini, Niken. Tetapi ketauilah, bahwa semua ini adalah buah dari perbuatanmu sendiri. Seharusnya kau tetap tegar dan berani, sama seperti saat kau memutuskan untuk mengambil langkahmu saat itu.”
“Pasti dia sudah amat jijik kepadaku. Pasti dia sudah bisa melihat apa yang kulakukan saat itu…”
“Ssshh…sudah, sudah. Tak ada gunanya lagi menangisi yang sudah lalu. Sekarang, kuminta kau ikut denganku.”
“Kemana?”
“Menjenguk Rayun.”
“Tidak,…aku tidak mau. Aku tidak sanggup!’
“Harus. Kau harus sanggup mengatakan semuanya ini dengan jujur kepadanya. Tidakkah kau tau, Rayunpun hampir saja tewas karena perbuatan Dewa Pamugaran. Untung saja, pelurunya tak tepat pada jantung, meleset sedikit saja, entah apa jadinya.”
Niken tersedak.
“Takkah kau sadari semuanya bisa saja berakibat sangat fatal?”
“Tetapi bukankah Raki Keleng dan Pamugaran ….”
“Bisa saja Raki Keleng jadi kejam karena takut kehilangan dirimu, Niken. Dia amat mencintaimu, sama seperti kau mencintai Aryo. Apapun kau lakukan untun mendapatkannya, bukan? Sama, Raki Keleng juga akan melakukan apa saja demi dirimu. Akibatnya mereka kini sama-sama berada di rumah sakit, sama-sama tidak bisa bertemu. Bahkan menurut keluarganya, hubungan mereka sudah putus.”
“Putus?”
Sepasang mata Niken terbelalak.
“Ya. Mereka putus. Karena Rayun sudah tidak bisa lagi memaafkan Aryo atas perbuatannya kepadamu. Dia beranggapan Aryo telah membohonginya.”
“Seharusnya dia bisa memaafkan Aryo.”
“Nyatanya tidak.”
“Kalau dia benar-benar mencintainya, pasti bisa memaafkan.”
“Semuanya tergantung dirimu.”
“Tergantung diriku?”
“Katakan kepadanya apa yang terjadi, dengan siapa kau melakukan hubungan, dan mintalah maaf kepadanya.”
“Apakah,…dengan begitu mereka bisa kembali…?”
“InsyaAllah.”
Niken meremas jemarinya sendiri. Lama terdiam, seakan berpikir dan menimbang-nimbang.
“Baiklah,” ujarnya kemudian dengan suara gemetar. “Kapan kau mau pergi menjenguk Niken?”
“Sekarang?”
“Sekarang?”
Darji tersenyum menatap mata yang masih berselimut airmata itu, mengangguk pelan seraya meremas pundaknya perlahan.
“Sore ini?” masih juga Niken menawar.
“Ya, sore ini.”
“Baik, aku ikut.”
“Alhamdulillah….”

Sore itu di rumah sakit, Rayun sudah kelihatan segar. Dia menerima kedatangan Niken Pratiwi dan Darji dengan seulas senyum yang cukup manis. Wajahnya memang masih terlihat pucat, namun menurut Darji, mungkin itu dikarenakan gadis itu tidak memakai make-up di wajahnya. Darji membiarkan Niken meminta maaf dan menjelaskan semuanya kepada Rayun. Ada terbersit rasa kasihan dan iba terhadap Niken di hati Darji, namun itulah sesungguhnya tanggungjawab Niken atas semua trik yang pernah dilakukannya untuk merebut kembali kekasih hatinya. Kenapa dia harus melakukan itu? Menurut Darji sungguh tidak masuk akal, walaupun kadang orang bisa membuat kita kecewa, tak semestinya Niken membabi-buta, sama seperti Raki. Kita tau, bahwa semua dari kita memiliki kelemahan. Seharusnya pula kita bisa memahami dan memaafkan orang lain. Namun, pernyataan Rayun sungguh mengejutkan Darji.
“Sebetulnya,… “ kata Rayun. “….aku sudah menerima tawaran untuk bekerja pada sebuah majalah di Jakarta. Kuterima tawaran itu karena sudah sejak lama aku ingin bekerja pada sebuah majalah. Apalagi majalah besar di Jakarta. Aku tak ingin melepaskan kesempatan ini. Aku tak ingin melepaskan kemerdekaanku memilih jalan hidupku sendiri. Tanpa campur tangan orang lain, tanpa harus dipengaruhi oleh segala macam tetek bengek yang tidak penting untuk mengubah pilihanku.”
Darji memasukkan tangan ke saku. Sombong bener kedengarannya, pikir Darji.
“Namun ada seseorang yang membutuhkanmu saat ini, Rayun.” Kata Darji.
“Siapa? Aryo Wangking?” Rayun Wulan tertawa. “Dia tidak membutuhkan siapa-siapa, apalagi membutuhkanku. Dia orang yang mandiri. Dan bukankah ada kalian? Kenapa pula harus ada aku?”
“Kau masih marah kepadanya?”
“Oh, sama sekali tidak, Darji. Maafkan kata-kataku kalau itu kau anggap cetusan dari perasaan marah seseorang pada orang lain. Tidak, aku tidak lagi merasakan apa-apa. Yang kupikirkan justru kalian. Kalian membutuhkan dia, jadi apa gunanya semua ini dibicarakan?”
“Rayun, dengarkan aku,…” kata Darji. “….dia amat membutuhkanmu. Saat ini. Mungkin sedang sekarat, mungkin justru akan sembuh seperti sediakala. Tidakkah kau ingin bertemu?”
“Lakukanlah, Rayun. Demi aku, maafkan dia.” Sahut Niken.
Rayun tertawa kecil.
“Waktu berjalan seperti sungai, Darji. Akan mengalir terus dan tak pernah kembali. Ambillah apa yang masih dapat kau ambil. Jangan dibiarkan lewat dengan sia-sia. Berpikirlah. Jangaan hanya dua kali, tapi berpikirlah ribuan kali. Maka setelah kupikir ribuan kali, aku memutuskan, menerima pekerjaan pada majalah terkenal itu.”
“Rayun, kau mencintainya?” tajam tatap mata Darji menusuk ke hati Rayun.
Setelah terdiam beberapa saat, Rayun menjawab dengan suara gemetar.
“Dulu aku sangat mencintainya,…”
“Sekarang?”
“Sekarang,…rasanya tidak lagi.”
“Astaghfirullah….” Darji menutup wajah dengan telapak tangan. Betapa keras hati kamu, Rayun. Betapa dalam pikiranmu cuma ada hitam dan putih!
“Rayun….” Niken mendesah kelu.
“Dunia yang kumiliki barangkali berbeda dengan dunia kalian,” kata Rayun getas. “Terus terang, aku tak tau apa yang harus kulakukan bila berada bersama kalian, dimana tiada lagi batas-batas, semuanya tampak rancu, mana sahabat mana kekasih, mana teman tidur…”
“Dia tidak meniduriku!” sentak Niken lebih pedas.
“Oh ya?”
“Memang nasibku jauh lebih jelek disbanding nasibmu, Rayun. Tapi jujur, anak dalam kandunganku ini bukan milik dia!”
“Aku sudah tak peduli lagi anak itu milik siapa. Tapi sudah jelas bagiku bahwa kalian pernah saling memiliki.”
“Itu dulu sebelum bertemu dirimu, Rayun!”
“Ya, itu dulu. Apakah tidak mungkin semuanya berjalan melingkar bagai roda? Kembali dan kembali lagi? Bagiku ujung dari pembicaraan ini semacam bentang panjang padang kesepian dimana kita ini jadi seperti orang-orang bodoh yang sia-sia memaknai hidup dan tak mengerti akan arti mencintai.”
Darji menggigit bibir.
“Tega sekali kau bicara seperti itu, Rayun,” ujarnya kehilangan simpati.
Dilihatnya kemudian, Rayun melepas cincin belah rotan yang melingkar di jari manisnya. Ditariknya tangan Darji, dan meletakkan cincin itu pada telapak tangannya.
“Ini,…” ujarnya. “…berikan kepadanya, dan katakan bahwa aku bukan Rara Ireng seperti yang diyakininya selama ini. Aku adalah manusia masa kini yang tak terbawa arus moral papa.”
“Rayun, kau sadar dengan yang kau lakukan ini?”
“Sepenuhnya aku sadar.”
“Sungguh, tak pernah kusangka kau….”
“Sebaiknya kalian segera menemuinya,” potong Rayun . “Katakan juga aku sudah pulih seperti sediakala, dan besok sudah bisa keluar dari rumah sakit. Segera luka yang ada di dalam sini sudah mulai mengering dan emosiku sudah kembali stabil.”
Darji sungguh terpana. Tak tau lagi harus mengatakan apa pada gadis selembut angsa, namun berhati baja, keras dan dingin, yang tengah tersenyum di depan matanya itu. Digenggamnya cincin belah rotan dalam telapak tangannya kuat kuat, diremas, seakan ingin meluluh-lantakkannya jadi debu. Perlahan-lahan dia melangkah mundur diikuti langkah Niken yang berwajah seputih kapas menahan amarah.
“Ada keadilan yang lebih tinggi dari keadilan manusia,…” desis Darji tertahan.
Rayun membuka telapak tangan ke udara, tersenyum manis tanpa beban.
“Ya,…” sahutnya. “…Dia yang akan mengadili kita semua!”
Darji mengusap muka dan beristighfar. Satu lagi kekejaman dia saksikan. Kekejaman yang dilakukan tanpa senjata, namun tikamannya jauh lebih mematikan.
Ya Allah….
Dia berpaling sekali lagi. Ingin melihat atau mendengar imbauan Rayun untuk bisa kembali menyatukan hatinya dan hati Aryo Wangking sahabatnya. Namun yang dilihatnya adalah gadis cantik itu bahkan sudah memejamkan mata, tidur laksana malaikat. Siapa akan menyangka, ternyata dia bukan sekadar malaikat, namun manusia berhati singa.
Di rumah sakit lainnya, Darji melihat Aryo terbaring apatis. Beberapa selang infuse seakan lengan-lengan octopus, mencengkeram tangannya yang terikat ke pinggir ranjang tanpa daya.
“Gimana keadaanmu, Yok?” tanya Darji.
“Seperti yang kau lihat. Sudah kautemui Niken?”
Darji mengangguk.
“Rayun juga?”
Darji kembali mengangguk. Dilihatnya Aryo tersenyum seraya menatap langit-langit kamar. Mendesah lirih seakan ada yang pedih di dadanya.
“Kenapa, Yok?”
“Aku merasa aku bakal kehilangan dia, Ji.”
“Maksudmu?”
“Kami tak bisa lagi bertemu, seakan ada tembok yang tiba-tiba berdiri kaku diantara kami. Kami tak bisa saling bicara. Komunikasi terputus total. Kubayangkan, seandainya aku bertemu dengannya, apa yang akan kukatakan?”
“Ya, menurutmu apa?”
“Rasa-rasanya tidak ada lagi yang bisa kukatakan kepadanya. Sejak awal aku tau, dia adalah gadis yang keras hati. Namun ada sesuatu dalam dirinya.”
“Apa?”
“Rara Ireng.”
Darji tertawa perlahan.
“Dia bukan Rara Ireng,” ujar Darji.
“Itu yang dikatakannya? Bahwa dia adalah manusia masa kini yang tak terbawa arus moral papa?”
“Kau sudah mendengarnya sendiri?”
“Tidak. Aku hanya mendengar bisikan di telinga hati, bahwa itulah yang dia katakan padamu untuk menolakku. Lantas, apa lagi katanya?”
“Dia akan bekerja di sebuah majalah. Di Jakarta, katanya.”
“Kapan?”
“Katanya, dia berangkat ke Jakarta Minggu depan. Oh ya, ini ada titipan untukmu.”
Darji merogoh saku celananya, dan meletakkan cincin itu di tangan Aryo yang kemudian menatap kosong benda itu seakan tak mengerti dari mana asalnya.
Aryo mengelus dada yang mendadak sesak. Kedua matanya memejam beberapa lama. Kelopak mata itu memanas. Bibirnya terkatup kuat mencoba menahan raungan yang nyaris meledak. Kulit wajahnya memutih kapas. Perlahan dia mendesah. Mohon diampuni segala dosa yang pernah digoreskan memenuhi lembaran kehidupannya. Barangkali inilah hukuman Tuhan atas semua perbuatannya di masa lalu. Meniduri isteri orang, memerawani seorang gadis, dan semua itu dianggapnya tidak berakibat apa-apa. Nyatanya? Sumirah bunuh diri karena kecewa, Niken hamil tanpa ketauan siapa laki-laki yang menghamilinya. Bukankah itu dosa besar? Ya Allah…masihkah mampu mengaku bahwa dia adalah titisan Nambi?
Kesedihannya kini sudah tak mampu lagi dia atasi atau sembunyikan. Pada akhirnya manusia sendirian saja menanggung rasa sedih. Rasa sedih memang tak bisa dibagi dan tak bisa diminta dari seseorang. Pada akhirnya manusia sendiri seorang yang terpencil, tanpa kawan, tanpa pengawal. Dan bila manusia punya pengawal di belakangnya, yang mengawalnya adalah kesepian juga pada akhirnya.
Minggu ini adalah minggu penghabisan yang hilang batas. Kalau benar Rayun akan segera pergi, itu artinya mereka memang hanya mampu menjangkau rakit hitam yang terdampar pada putaran pitam. Mata Aryo membatu. Masih dapatkah kedua hati mereka berdekapan kalau sudah begini?
Hati Aryo menjeritkan sebuah rintih pilu. Pedih bagai disayat sembilu. Dengan cepat disadarinya bahwa sesungguhnya dunia ini tidak kekal. Disimpannya seluruh cinta untuk dirinya sendiri, dilipatnya hati. Kedua matanya memejam, basah.
Darji menghela nafas panjang. Sambil memasukkan kedua tangan ke saku celana, perlahan dia melangkah keluar dari ruang rawat inap itu. Di ujung lorong rumah sakit dia bertemu beberapa perawat yang menyapanya dengan lemparan senyum. Di tepi jalan, Darji mencegat angkot, dan segera naik ke dalamnya. Dibalasnya lambaian tangan anak-anak jalanan yang berlarian di belakangnya. Suara adzan maghrib teramat jernih terdengar dari arah masjid di ujung jalan. Matahari kian tenggelam.Langitpun tak lagi bening.
Mungkin benar kata orang, bahwa dunia ini alangkah komplit. Senantiasa bergerak antara kepuasan dan kekecewaan. Amat banyak yang kita tidak tau. Adalah bahagia, sebenarnya, orang yang sederhana dan wajar dalam arti proporsional terhadap keterbatasannya. Bagi Darji, Aryo wangking adalah kesenjangan. Merupakan awal dari simpang berbelok lepas. Dia memang harus memilih untuk dijemput anugerah panjang yang meresap melalui kisi-kisi dan cukup bahagia berada pada lantai dunia. Tak penting lagi haruskah ada Rayun Wulan atau tidak. Tak penting lagi. Karena semuanya memang kembali kepada yang di atas, Robb Yang Maha Kuasa.(kupersembahkan untuk suami, anak2, dan cucuku Dipa).


SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar