Senin, 06 September 2010
TROWULAN (31)
DENDAM KESUMAT.
Sepertinya hampir semua bangunan museum berwajah suram dan samasekali tidak menarik. Barangkali memang demikianlah keadaannya, seakan-akan disengaja untuk menjauhkan tamu yang sekadar iseng, tanpa tau apa makna sebuah sejarah.
Sebagai arkeolog yang benar-benar mencintai pekerjaannya, Aryo Wangking sebenarnya juga tak suka pada tamu-tamu yang hanya berkunjung karena iseng atau kurang kerjaan saja. Mereka masuk, melihat-lihat sekilas, lalu berceloteh sendiri bersama teman serombongannya. Sesudah itu, mereka pulang tanpa kesan. Samasekali tak mengerti, untuk apa sebenarnya mereka datang. Aryo berharap akan semakin banyak orang mencintai sejarah bangsa sendiri. Dengan menelusuri untaian rantai sejarah dari masa ke masa, Aryo berharap mereka semakin tau akan sejarah nenk moyangnya. Dan akan semakin mencintai tanah airnya.
Siang itu Aryo datang. Langkahnya terhenti sejenak di serambi. Hidungnya tiba-tiba mengerut saat menatap sebuah Kawasaki hitam di parkir di halaman musem. Entah mengapa, mendadak saja ada getaran aneh di dadanya. Seakan merasakan sebuah bahaya tengah mengintip. Padahal, apalah artinya sebuah motor warna hitam yang berdiri bisu di situ? Lantas, bagaimana dengan pemiliknya! Aryo mendesah. Yakin, Raki Keleng sang pemilik sedang ada di dalam.
Suasana di dalam museum dirasakan teramat sepi.
Tak ada lagi senyum Rustam menyambut setiap kedatangannya. Dia tewas beberapa waktu yang lalu karena bom yang ditanam orang di mobilnya meledak. Juga tak terdengar gurau dan kenyinyiran Niken Pratiwi. Sepi sekali. Mencekam. Aryo duduk di kursi lobby. Lama terpekur disitu memikirkan beberapa peristiwa yang sudah terjadi di dalam gedung tua itu. Banyak hal telah dialaminya bersama orang-orang terdekat, seperti Rustam maupun Niken. Juga terlintas dalam benaknya, pertikaiannya yang seru dengan Raki Keleng. Semuanya seakan suatu kejadian yang tidak masuk akal. Bagaimana mungkin semuanya terjadi dalam kehidupannya? Percintaan, pertengkaran, bahkan senjata api ikut bicara.
Saat ini Rayunpun masih terbaring di rumah sakit. Beberapa kerabat dekat gadis itu mengatakan bahwa Rayun tak mau bertemu dengannya, tak mau menerima kunjungannya, bahkan ponselnya selalu offline. Rupanya gadis itu sudah terlalu marah dan tidak percaya lagi kepadanya. Lantas, untuk mengembalikan kepercayaan Rayun kepadanya, apa yang harus dia lakukan? Apakah dia harus memaksa Niken mengijinkan dokter memeriksa DNA bayinya bila orok itu terlahir nanti? Aryo tidak pernah ragu akan trawangan yang dilakukannya, bahwa bayi itu memang milik orang banyak. Entah siapa yang pertama bersama Niken saat itu, dialah yang memilikinya. Selebihnya,…menurut gurauan orang-orang, hanya akan menambah tahi lalat atau rambut saja pada janin itu. Brengsek! Itu adalah sebuah gurauan yang sangat tidak manusiawi. Kejam dan sarkastik.
Tiba-tiba Darji masuk.
“Assalamualaikum,” Darji ber-uluk salam.
“Walaikumsalam.”
“Sudah lama. Yok?”
“Baru saja. Tumben kau kemari. Ada angin apa, nih?”
“Aku kesepian di Pendopo Agung. Semua orang telah pergi. Tau nggak, semakin tua ini aku semakin merasa betapa hidup ini merupakan kumpulan perpisahan. Besar maupun kecil.”
Aryo tersenyum kecil, mencabut sebatang rokok dan menyulutnya sekalian dengan geretan Zippo.
“Sentimentil sekali kedengarannya omonganmu itu, Ji!” katanya setelah menghembuskan asap ke udara.
“Yah….rasanya makin hari aku makin peka saja dengan yang namanya perpisahan.”
“Hm…” Aryo makin melebarkan senyum.
“Pernah suatu kali, aku lewat di sebuah jalan sempit dan melihat buah jeruk yang mengundang liur. Penjualnya, seorang ibu tua yang ramah sekali. Aku membelinya beberapa buah, kemudian pergi. Dan tiba-tiba saja hati ini tertusuk perasaan sedih dan merasa bahwa aku tak akan bisa melihat ibu tua itu lagi karena aku jarang sekali datang ke daerah tersebut dan mungkin tak akan pernah ke sana lagi. Karena semua keperluanku dapat di beli di sekitar tempat tinggalku. Itu hanya sebuah contoh, betapa perpisahan itu begitu mudah terjadi. Sepertihalnya dengan Rustam, kita tak dapat lagi bertemu. Aku tak akan menjumpainya lagi di sini maupun di tempat lain.”
Aryo tetap tersenyum mendengarkan kata-kata Darji. Tak sekalipun dia ingin menyela atau berkomentar.
“Aku rasa,..” kata Darji lagi, “…ada yang salah dengan masyarakat modern kita ini. Kenapa orang semakin tidak mau mendekatkan diri dengan sesamanya? Kenapa harus saling menyakiti?”
Aryo mengetukkan jemari ke samping, membuang abu rokok yang telah memanjang.
“Ji,…” katanya. “…itu tidak berlaku bagi kita. Kau kan tau, pintu hatiku akan selalu terbuka bagi setiap orang, terutama untukmu. Datanglah padaku setiap saat kau membutuhkanku.”
“Aku tau, kaulah satu-satunya teman yang bisa kupercaya. Kau punya rasa social yang teramat tinggi, karena itu aku jadi heran, kok masih ada saja orang menjahilimu. Seperti si raki Keleng itu.”
“Itu dikarenakan dirinya sudah dirayapi setan cemburu.”
“Rasaku bukan hanya itu. Ada sesuatu yang lain. Kulihat kedengkian teramat dalam menggerogoti kewarasannya. Orang-orang di sini bilang, sebetulnya bukan Rustam target peledakan itu. Targetnya adalah kau. Sayangnya, polisi tidak bisa membuktikan bahwa dialah pelakunya, padahal ada seseorang yang berani bersumpah telah menyaksikan Raki Keleng mondar-mandir saja di dekat jip sebelum jip itu meledak. Apakah itu hanya karena cemburu, iri atau dengki terhadapmu?”
“Wallahu a’lam. Aku tak berani bilang apa-apa. Bisa jadi fitnah.”
“Boleh kutanyakan sesuatu?”
“Silakan.”
“Apakah… benar…Niken sedang hamil?”
“Menurutmu, bagaimana?”
“………….”
“Apakah sama seperti Niken, kau ingin mengatakan bahwa akulah pelaku utamanya?”
“Maaf, maaf. Bukan maksudku….”
“Aku tau, Ji. Sebetulnya kau tak ingin dirasuki pemikiran seperti apa yang dikatakan Niken kepada orang-orang. Aku tidak menyalahkannya, meskipun hampir gila memikirkannya. Bayangkan, hubunganku memburuk setelah Niken bekoar bahwa aku pelakunya. Rayun Wulan sudah tidak lagi mau percaya padaku.”
“Lantas, apa yang akan kau lakukan?”
“Tidak ada. Kau tau Ji, baik buruknya sesuatu, semuanya hanyalah selisih waktu. Waktulah yang akan membuktikannya. Kita tak harus melakukan klarifikasi apapun , sudah tak ada gunanya lagi. Tidak akan mengubah Rayun menjadi percaya lagi kepadaku. Barangkali hanya Tuhan yang bisa memperbaiki semuanya. Sementara itu, Raki Keleng semakin ganas saja di mataku. Bergentayangan kesana kesini. Kadang, kalau aku mau jujur pada diri sendiri, timbul rasa takutku kepadanya, kepada kenekatannya, keganasannya, kepada nafsu serigalanya.”
Darji menghela nafas panjang. Ya, siapa sih yang tidak keder menghadapi kegilaan Raki Keleng? Bagi Raki tak ada lagi undang-undang, yang ada dalam benaknya adalah hukum rimba.
Seseorang mendadak menerobos masuk. Dia, yang baru saja dibicarakan kini berdiri garang di tengah bingkai pintu. Sepasang matanya yang lebar dan hitam, memandang tajam. Bertolak pinggang dan melempar senyum miring kepada Darji maupun Aryo.
“Wah wah… lagi ngegossip nih!” ujarnya seraya melangkah masuk.
“Siapa yang sedang kalian omongin? Aku?” tambahnya, diikuti tawa mengejek.
Aryo menjawabnya dengan hunjaman tajam lewat sorot mata. Dia tak ingin membuat jahanam itu kembali naik pitam seperti tempo hari. Karena otaknya memang sudah tidak beres, bisa saja nekat dan berbuat jahat meledakkan kepala orang.
Raki Keleng duduk bersama mereka. Sengaja menaikkan kaki ke atas meja sambil menyulut rokok bermerk mahal. Dilemparkannya bungkus rokok ke meja dengan sikap jumawa.
“Rokok, Ar?” tawarnya sambil menghembuskan asap rokok kuat-kuat ke udara.
“Aku baru saja dapat komisi besar dari seseorang,” imbuhnya sambil cengengesan.
Aryo diam tak menjawab.
“Siapa yang memberimu hadiah?” tanya Darji kalem.
“Ada saja.”
“Seseorang telah membayarmu atas satu kejahatan?”
Raki Keleng menggebrakkan kaki ke lantai, matanya mendelik ganas.
“Diamput! Kau ini selalu saja ngomong jelek tentang aku, kenapa sih? Kaupikir aku siapa? Preman, gitu?”
Darji tetap tenang, menatapnya tanpa kemarahan atau kemuakan di matanya.
“Semua orang tau apa pekerjaanmu, Raki. Tentu, kalau nggak judi, mainin perempuan, minum, ngompas…”
“Omonganmu Ji! Bau kentut melulu. Lihat dulu yang bener. Jelek-jelek begini aku punya otak untuk memilih pekerjaan. Kalau Cuma terima gaji cukup buat beli rokok, buat apa? Bagaimana bisa menghidupi anak dan bini? Masa harus mencari cewek konglomerat, baru bisa kawin? Uuuu,…nggak lah yao! No way! Gengsi meck! Harga diri, tauk! Itu namanya en-u. Alias numpang urip, hahahah…”
Aryo mencoba meredam kemarahan dan menyabar-nyabarkan hati. Dia tau, Raki sedang menyindir-nyindirnya. Mengipas-ngipas agar timbul rasa tersinggungnya, dan …ya, itulah yang ditunggu Raki. Perkelahian! Agar dia punya alasan untuk menikamkan belatinya ke perut lawan. Kalau saja Aryo terpancing, maka akan timbul ilham di balik kepala si brengsek itu menyulutkan api dalam lorong gelap.
Aryo berdiri.
“Kemana, Yok?” Darji bertanya.
“Ke perpustakaan.”
Raki Keleng tak ingin memberinya kesempatan untuk lolos.
“Kenapa kau ini, Brewok!” tandasnya. “Apa kau tak suka aku ikut mengobrol bersama kalian? Kau benci padaku, hah? Kau takut aku mengatakan padamu kalau aku tau anak dalam perut Niken adalah hasil permainan kalian, hah? Atau kau pikir, ada andilku di dalam perut cewek itu?”
Aryo menoleh kepadanya. Sepasang mata rajawali itu kini penuh jilatan api kemarahan, berkobar menjilati wajah Raki Keleng. Rasa-rasanya dirinya sudah cukup sabar menghadapi tekanan-tekanan dari lelaki berkulit hitam itu demi menjaga ketenangan tempatnya bekerja. Namun kesabarannya rasanya sudah setipis sarang laba-laba. Barangkali inilah yang dirasakannya saat dia menapak di serambi tadi. Serupa seringai serigala yang akan membahayakan keselamatannya!
“Kuperingatkan kau, Raki,” kata Aryo geram. “Jangan mencoba mencari-cari masalah denganku. Dan perlu kau ketaui, aku tidak perduli dengan ucapan-ucapanmu yang penuh intrik. Dengan siapapun Niken mau, itu bukan urusanku. Kau mengerti?”
“Oh ya? Gimana kalu dia bilang itu anakmu, kau percaya tidak?”
“Kutekankan sekali lagi agar otakmu bisa merekam lebih jelas, bahwa antara aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Kalau kau meng8inginkannya, ya silakan saja. Buktikan pada semua orang bahwa janin yang dikandungnya itu adalah darahmu. Kuharap kau mau sedikit menaruh kasihan kepadanya. Seburuk apapun dia, jangan kau cemarkan namanya dengan dalih-dalihmu sendiri.”
“Dasar pinter ngomong!”
“Terserah.”
Aryo melangkah pergi, tetapi tungkai Raki Keleng menghalanginya dengan sengaja. Aryo menendangnya dengan kesal. Itu yang membuat Raki Keleng mencapai tujuannya. Diapun berdiri menghadang di depan Aryo sambil melotot.
“Brengsek! Merasa jagoan, ya?!”
Aryo mengatupkan geraham kuat-kuat.
“Aku memang bukan jagoan seperti kau, Raki. Tetapi menghadapi keroco sepertimu, siapa takut?”
“Setan alas. Rasakan ini….!”
Raki melayangkan tinju, dan ditangkis dengan manis oleh Aryo. Merekapun berkelahi seperti biasanya. Kali ini Darji tak ingin melerai, dia bahkan dengan gemas menonton. Dia ingin, kali ini Raki keok di tangan Aryo. Agar dia jera berkelakuan sok jagoan di daerah Trowulan ini.
Namun tiba-tiba Darji terkesiap melihat tangan Raki menarik sebilah pisau besar bergerigi dari balik kemejanya. Aryo mendadak juga berdebar-debar. Bukan ini yang dia inginkan. Namun kalau harus dihadapkan pada situasi seperti ini, apa lagi yang bisa dilakukan selain mempertahankan nyawa sendiri?
Raki terus menerus menyabet-nyabetkan pisaunya kea rah perut dan dada Aryo. Aryo lencah mengelak. Hingga suatu saat tangannya bisa ditelikung ke belakang oleh Aryo. Pisau besar itu terlepas. Tubuhnya terdorong menjauh.
“Sudahlah,..” kata Aryo. “…jangan lagi diteruskan. Tak ada artinya. Kalau jatuh korban, korban itu korban yang sia-sia.”
“Ya, betul,” timpal Darji. “…pulanglah Raki. Lupakan perselisihan tak berguna ini!”
Raki keleng berdiri sambil meringis menahan sakit pada pangkal lengan yang terpelintir oleh Aryo. Dilihatnya Aryo mengambil tas ransel dan melangkah pergi meninggalkannya tanpa menoleh-noleh lagi. Diikuti Darji di belakangnya. Siapa yang mau menyerah? Pikir Raki Keleng. Dipungutnya belati dari lantai, dan tanpa aba-aba, dia maju menerjang, berusaha menancapkan benda tajam itu ke punggung Aryo yang tampak lengah. Darji berteriak mengingatkan, tapi terlambat. Belati itu menghunjam telak di pinggang belakang Aryo Wangking. Aryo mengaduh, terhuyung sesaat, sebelum benar-benar jatuh.
Raki tertawa menyeringai.
“Rasakan balasan atas kematian Pamugaran!” Desis Raki Keleng.
“Kka…mu…?”
“Ya, akulah dan Pamugaran yang merencanakan kebinasaanmu, Jagoan! Sekarang kaulah yang tersungkur, rasakan,…rasakan…! Terimalah kematianmu. Sekarang!”
Raki Keleng kembali menerjang, berkehendak menghunjamkan belati ke dada Aryo Wangking.
“Jangaaaannn!” Darji berteriak keras tanpa mampu mencegah.
Aryo mencoba bertahan. Ditahannya tangan Raki yang menggenggam belati bergerigi itu sekuat tenaga. Tubuh Raki menindihnya dan mengangkat belati tinggi-tinggi siap menancapkannya ke tubuh lawan. Aryo terus bertahan, dan berhasil membuat Raki terguling. Kini mereka saling bergulingan di lantai, saling berebut belati, saling mempertahankan diri….
Darji lari ke meja telepon. Diputarnya beberapa nomor.
“Halo! Pos polisi…Tolong pak, ada perkelahian di sini…”
Darji menjelaskan kejadiannya secara singkat, menjelaskan juga tempat kejadian, dan minta agar polisi segera datang, sebab kalau tidak, akan terjadi pembunuhan di Museum Trowulan.
Ketika dia menoleh, lantai sudah dipenuhi bercak darah. Aryo sudah kelihatan di bawah angin. Derasnya darah yang keluar membuat tubuhnya semakin melemah. Darji berteriak-teriak minta pertolongan. Suasana gedung yang teramat sepi sempat membuatnya bingung, kemana saja sih orang-orang? Aneh!
Bagi Aryo, inilah perkelahian antara hidup dan mati. Kebencian Raki Keleng yang muncul sejak lama, iri dan dengki yang berlebihan, ditambah cemburu yang mambabi buta, membuat nafsu membunuh menguasai dirinya. Aryo sadar tak boleh ada yang mati di sini. Dia tak ingin melukai Raki Keleng. Namun kekuatan dan kenekatan Raki Keleng membuatnya tak bisa bernafas. Enerjinya seakan tersedot habis bersamaan dengan mengalirnya darah dari luka yang menganga di belakang pinggangnya. Aryo tak lagi mampu mempertahankan diri.
Sekali lagi pisau besar itu menggores lengannya. Sebuah luka yang cukup dalam membuat lengan kirinya lumpuh. Aryo benar-benar jatuh tersungkur. Terjerembab sambil menahan nyeri yang teramat sangat akibat luka tak rata yang disebabkan tepi belati yang bergerigi. Dalam sepenarikan nafas, Aryo terkejut saat ujung belati itu mendadak menancap di ulu hatinya. Aryo menggeliat dan mengerang panjang. Tangan kokoh Raki Keleng mendorong kuat hulu belati, berusaha menancapkan lebih dalam ke sasarannya.
Aryo menyerah. Siap meregang nyawa. Saat itulah beberapa sosok berpakaian polisi datang bagai air bah. Kaget menyaksikan lantai berlumur darah. Mereka melihat ada seorang pria berbadan besar tergeletak tak bergerak di ujung lantai. Pria lainnya, lebih kecil, tengah duduk diatasnya, menindih sambil memegang belati yang tenggelam dalam darah.
Tak sabar, mereka menarik Raki Keleng dan memborgol tangannya, menyeretnya keluar, dan membawanya pergi tanpa perlawanan. Raki Keleng sudah puas. Bibirnya menyungging senyum yang mengandung ejekan. Tertawalah dia dalam hati, mengakak-ngakak! Sementara itu sebagian lain melihat Aryo masih bernafas, tersengal-sengal, dengan mata melek yang berkedip lemah.
“Cepat bawa dia ke rumah sakit!”
Darji tergopoh ikut bersama mereka. Naik ke atas mobil pick-up terbuka, duduk di samping tubuh Aryo yang terguncang-guncang saat kendaraan bergerak. Dirasakannya tangan Aryo menyentuh tangannya.
“Ji…” bisik Aryo.
Darji mendekatkan telinga ke bibir Aryo.
“Temui Niken. Temui Rayun. Sampaikan permintaan maafku pada mereka.”
Darji menganggukkan kepala. Berusaha menahan gumpalan kesedihan yang ingin meledakkan tenggorokan. Dia hanya mampu mengangguk, tak mampu lagi mengucapkan kata-kata.
Aryo tersenyum tipis.
Sepasang mata rajawali itu meredup, kemudian memejam perlahan. Darji menjatuhkan kepala, tertunduk, dan merasakan cairan asin masuk ke mulutnya. Ya Allah,…bisiknya sambil menghapus cairan di pipi. Ampuni aku yang Kau beri kesempatan untuk menyaksikan kekejaman ini….Betapa dekat kematian itu bagi kami, sedekat urat nadi di leher kami. Maka tolonglah sahabat kami ini, karena kuyakin tugasnya sebagai manusia belum lagi selesai…. (: by indrawati poerbosisworo basuki)
(Bersambung ke episode 32)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar